All That the Nature Shows Me

This is all about what the nature teaches me, through people, nature itself or consciousness.

Berhala Kami

Uang oh uang, tanpamu mata orang memandang rendah, tanpamu harga diri bagai tak terlihat, oh uang tanpamu jerit tangis lapar menggaung. Oh uang, mengapa engkau menjadi tuhan yang juga menyenangi penyiksaan.

Wahai uang, tuhan para manusia saat ini, akulah orang munafikmu. Tak beriman padamu, tapi mengemis mencarimu saat kesusahan.

Ah, kau berhala yang menyilaukan. Jika Ibrahim hidup saat ini, akan kumohon..jangan hancurkan patung-patung tapi hancurkan uang-uang itu. Karena itu berhala yang lebih mudah menyesatkan kaum tuhanmu. Ibrahim, taukah kenapa mereka perlu uang?

Dengan uang mereka bisa makan. Dengan uang mereka bisa memuaskan kelamin. Dengan uang mereka bisa berkuasa mengatur, menutupi ketakutan akan kenyataan bahwa mereka bukan apa-apa dalam kehidupan. Dengan uang mereka dapat bersenang-senang hingga lupa bahwa hidup hanya untuk mati.

Oh Ibrahim, tuhanmu tak jahat seperti uang kan?

(Des'10)

Jadi Cahaya

"Maaf, nona atau nyonya?"
"Nyonya"
"Oh, maaf lagi suaminya masih ada Bu?"
"Ada," ujarnya sembari tersenyum.
"Kerja di mana suaminya Bu?"
"Di Jakarta ada. Di Bandung ada. Denpasar, Tokyo, New York juga ada. Di mana-mana." ujarnya semangat.
"Enak ya jalan-jalan."
"..." ia tesenyum.
"Ga ikut-ikut Bapaknya ni Bu?"
Ia menghela nafas dalam dan kembali tersenyum,
"belum waktunya"


Sayang. Aku ditanyain lagi kenapa ga ikut kamu. Kamu yang harusnya sekarang jadi cahaya. Kita kan udah janji supaya kita berdua abadi, setelah mati berubah jadi cahaya. Supaya umur ga berlalu. Apa kamu cahaya sekarang?

Tapi sayang, apakah cahaya bisa merasa?

(Des'10)

Topeng Anjing

Boleh Kak, topengnya Kak.. 20 ribu aja. Ayo Kak, boleh Kak. Dicoba dulu.

Ada topeng soleh. Khas Arab, Vatikan juga. Kalo pake topeng ini dijamin dapet pengikut. Bisa punya istri kanan kiri. Bisa punya masa sendiri.

Topeng pintar juga ada. Lengkap dengan ijasah juga. Tinggal pilih, s1 tambah 10juta, s2 tambah 20juta.

Boleh Kak..topengnya Kak.

Ini topeng yang paling laku, Kak. Topeng bermoral. Kalau pake topeng ini boleh caci maki Luna-Ariel, tapi di rumah nonton Miyabi juga. Boleh menghujat koruptor, tapi di kelas nyontek, tapi di kantor nyolong waktu.

Topengnya Kak boleh. 20 ribu Kak. Oh kalo itu topeng sok pemikir. Sok-sok-an peduli ini itu, tapi ngomong doang. Itu udah diborong Kak. Diborong sama yang nulis ini.

(Des'10)

Sebuah Diskusi tentang G 30 S (1)

2/3 Simbolisasi 1/3 Diskusi

Acara yang digelar di Perpus Nasional itu memang merupakan peluncuran dan diskusi, namun sayang oh sayang banyak waktu dipakai untuk foto-foto, simbolisasi anu dan itu, pengantar a b c. Sehingga waktu diskusi sangat sebentar, dan dalam 'sebentar' pun tak banyak yang bersuara untuk berdiskusi, melainkan opini satu-satu. Satu arah. Masing-masing. Itulah mengapa saya menganggap diskusi tadi malam itu menyedihkan. Kembali mengenai masalah pengantar, saya jadi curiga bagaimana kerasnya kerjaan sang editor buku ( G30s 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme) ya? Tapi seperti Pak Ben Anderson bilang bahwa 'ceramah' Pak Tan sebagai penulis berbeda dengan cara beliau menulis, Alhamdulillah, maka belilah!


Diskusi yang berlangsung kurang lebih sepertiga terakhir jatah waktu sewa gedung itu diisi oleh Bennedict Anderson (Professor Emiritus Universitas Cornell) dan Hilmar Farid (Peneliti Institut Sejarah Sosial Indonesia) sebagai pembicara dan JJ Rizal (Sejarawan Komunitas Bambu) sebagai moderator. Saya suka gaya moderator berbicara: pintar, tajam dan blak-blakan serta usahanya mengarahkan diskusi agar tidak meleber. Begitupula para pembicaranya, tentu saja. Pak Ben menjelaskan sedikit bagaimana beliau menganjurkan Pak Tan untuk menulis Buku, serta membeberkan beberapa fakta yang bagi seorang pembenci sejarah saat SD, cukup membuka mata. Seperti fakta bahwa 90% (atau 70%) penjabat Hindia Belanda pada tahun tertentu (ya, saya penghapal yang payah) adalah pribumi. Sedangkan dari generasi muda, Hilmar Farid dengan lantang, lugas, kritis dan cerdas memberi pandangan mengapa buku ini perlu di baca. Darah Tiong Hoa sang penulis, juga diangkat oleh Pak Hilmar. Ia menjelaskan bahwa istilah 'orang asli' dan 'bukan asli' di Indonesia adalah bias. Semua orang Indonesia adalah pendatang dari utara dan penduduk asli justru semakin ke Timur. Maka pertanyaannya adalah "Asli sejak tahun berapa?"

Ada 6 orang dari audiens yang bertanya atau memberikan pendapatnya. Dari keenam orang tersebut, hanya dua orang yang benar-benar bertanya (dan keduanya jauh lebih muda dari 4 pemberi statement). Dari dua yang bertanya, hanya satu pertanyaan yang menarik perhatian saya. Karena satu pertanyaan lainnya ditanyakan penyanya yang mungkin datang telat sehingga menanyakan kelebihan buku ini dibanding buku 30S lainnya yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh dua pembicara di awal.

Kehancuran Nasionalisme

Pertanyaan menarik tersebut diajukan oleh seorang laki-laki muda yang namanya saya lupa berkaitan dengan judul bukunya: kehancuran Nasionalisme. Cukup menarik, karena jika hanya terus menerus membahas penyiksaan, tipu muslihat dan kebusukan lain pada 30S kita mungkin hanya akan berputar-putar tak jelas. Dia bertanya, sejak kapan sebenarnya Indonesia sebagai 'nation' terbentuk? Sejak kapan ide nasionalisme Indonesia benar-benar muncul? Apakah orang-orang berkumpul lalu ide nasionalisme muncul atau sebaliknya?

Ini ada pertanyaan yang sering mengganggu saya dan juga pernah menjadi diskusi saya dan teman.

(bersambung)

Kalkulator Pahala


"Diam Nak. Ibu sedang sibuk," ujarnya. Baru saja sebuah alat turun dari langit. Kalkulator pahala.

Jemari dekilnya menari, menekan tuts. Semua kebaikan tinggal di-input-kan, lalu pahalanya akan dihitungkan. Oh, kalkulator mahacanggih bisa melakukan pemangkatan 7777 kali untuk pangkat 7, wah bahkan lebih. Marni saja kewalahan melihat pahalanya. Apalagi kiai bersorban dan berbaju kurung.

"Emang kenapa dengan sorban dan baju kurung?"
"Berarti soleh."
"Abu Jahal pake baju kurung, gimana?"

Ah, sudah-sudah. Pahala Marni 125 digit!!! Baiklah, cukup untuk 2x3 meter di surga. Tak apalah dipinggir sungai, biar bisa sering-sering minum anggur dan susu. Mana bisa di dunia ia beli minuman macam itu. Air putih saja susah.

"Pak, beli Pak. Kalkulator pahala. Turun dari langit sehabis sembahyang tadi."
"Hmmm... Berapa harganya?"
"50 ribu Pak. Saya sudah selesai pakainya."

Marni tersenyum.


Giliran bapak kaya menghitung pahalanya pada kalkulator yang baru ia beli. 750 digit!!! Lumayan, villa di bukit di surga. Uang yang ia pakai untuk jalan-jalan ke mekah, memotong kurban, dan kasih tajil menyumbang cukup banyak pahala.

Ah, aku perlu uang lebih banyak untuk menambah pahala.

Bapak kaya tersenyum.

Handphonenya berdering.
"Halo"
"Halo Pak Gayus"

(Des'10, tulisan lama ga ke backup, jadi tulisan baru deh)
image from: http://school.discoveryeducation.com/clipart/clip/calcltr.html

Ajaib

"Emang ga masuk akal, tapi coba aja dulu. Siapa tau kamu bisa bikin keajaiban," saran tepatnya perintah dari project manager saya. Dan hei, tanpa abrakadabra atau kun fa yakun, keajaiban muncul! Bukan hal besar sih, tapi tetap saja ajaib.

Ajaib itu apa ya? Silakan me-wiki atau me-define-google. Menurut saya dengan cara pandang sebab akibat, kita sering mempersempit peluang hal-hal ajaib terjadi. Mungkin bukan sebab akibatnya yang bermasalah, tapi karena kita hidup di dunia yang menaruh manusia sebagai pusat, maka 'sebab' dibataskan pada perbuatan, usaha, pengetahuan dan pengalaman manusia saja. Padahal ada alam berperan. Padahal ada yang kau sebut Tuhan.

Bukankah semua hanya kesempurnaan kebetulan dari permainan peluang?

Lagi, saya hanya bicara. Seringpula saya lalai memberi tempat pada keajaiban. Dasar sok tahu!

(Des'10, terima kasih mahaajaib)

About me

Foto Saya
Cie
- writes everything coming to her mind - loves sleeping - wants to own a library - hates routine - loves the pleasure of discovery
Lihat profil lengkapku

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

People Read the Blog

Visitor

hit counter