All That the Nature Shows Me

This is all about what the nature teaches me, through people, nature itself or consciousness.

Penyampai. Titik.

Tidak lebih dari 5 menit saya terpaku di depan layar kaca yang sedang menayangkan sinetron (semoga) relijius. Seorang bocah dengan suara lantang mendakwahi orang-orang. Suaranya fasih membacakan entah ayat Al Quran atau hadits. Hati saya terenyuh. Sedih karena dakwah singkat itu tidak meninggalkan kesan apapun. Ya, mungkin kekaguman akan kefasihan bocah berbicara bahasa asing. Tidak lebih.

Memang banyak anak-anak yang memang sudah menjadi penghafal Quran di usia dini. Tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja ada baiknya jika pemahamannya sejalan dengan hafalannya. Tidak menutup kemungkinan mereka memang sudah memiliki pemahaman mendalam mengenai kehidupan dan hidup.

Yang dipertanyakan adalah kematangan spiritual mereka yang bisa jadi dipercepat. Atau sama sekali tidak terbuka? Karena sudah dibentuk sedini itu.

Apa jadinya jika mereka mendakwahkan hal yang tidak mereka pahami? Bagaimana perkembangan spiritual mereka karena telah dipersempit sejak usia dini? Apakah itu berkah yang harus disyukuri atau cobaan yang harus diwaspadai?

"Sampaikanlah meskipun hanya satu ayat." "Jangan lihat siapa yang mengatakan tapi dengar apa yang disampaikan." Siapapun dapat berdalih demikian. Sah-sah saja. Tidak ada yang melarang. Toh toleransi kita sepertinya sudah sangat tinggi, sehingga guru cabul, pejabat rakus, atasan korup pun bebas berkata apapun. Dan dengan legowo kita menerima perkataanya tanpa peduli apakah orang-orang tersebut melakukan atau setidaknya mengerti apa yang dikatakannya. Kita manusia-manusia super yang super tabah menerima apapun. Termasuk jika itu hanya kulit kacang yang dilempar monyet.

Semoga para penyampai cilik itu mampu memberi penyegaran. Dan tidak mengikuti trend pepesan kosong ini.

Nak, jangan lupa bermain ya...

(Des'11. Ya, saya pun hanya bergelut dengan cangkang. Mungkin. Atau lebih buruk. Entah)

Karir Manusia Purba

Sering terpikir apakah kemajuan teknologi mempermudah atau justru memaksa kita bekerja secepat teknologi itu berkembang. Ambil contoh perkembangan teknologi komunikasi. Pada saat email atau bahkan telepon belum ada, pertukaran informasi tentu sangat lambat. Kurir mungkin sibuk, tapi karena tidak mengalami masa tersebut saya tidak tahu bagaimana ritme orang-orang bekerja pada saat itu. Apakah sesibuk sekarang?

Namun saat teknologi ditemukan dan dikembangkan untuk mempermudah, hal itu justru membuat hidup semakin sibuk. Sebelum memiliki device dengan fitur push-mail saya hanya membaca dan membalas email di jam kerja. Tapi sekarang, kapanpun saya dapat melakukannya. Bahkan jika mau, bisa saja 247.

Bukannya membuat kita bekerja separuh waktu, namun teknologi membuat kita melipatgandakan waktu kerja. Ya, produktifitas mungkin terlipatgandakan pula. Lalu bagaimana dengan kualitas hidup?

Apakah manusia purba memiliki tenggat waktu yg singkat untuk mendapatkan makanan jika tidak lapar? Bagaimanakah dunia ini jika manusia hanya berusaha menjawab pertanyaan dasar tanpa mempedulikan teknologi yang hanya 'ampas' dari penemuan yang lebih tinggi?

(Dec'11)

Perempuan

Setelah membaca Newsweek edisi September 26 ini saya kembali berpikir tentang perempuan. Pembahasannya adalah Women in The World. Ya, tentang perempuan dan semua lika liku-nya. Mulai dari semakin meningkatnya peran wanita dalam membantu pergerakan ekonomi dan politik dunia hingga kekerasan rumah tangga dan ‘Honor killing’ (pembunuhan oleh anggota keluarga demi nama baik) yang ajaibnya masih tetap terjadi, bahkan di Negara Barat yang selalu diagungkan sebagai pengusung HAM.


Tak perlu jadi seorang feminis sebetulnya untuk mampu menyuarakan ketidakadilan dan persamaan hak. Hanya dibutuhkan keinginan untuk membuka mata, berbicara dengan nurani dan berpikir jernih. Ambil contoh dalam hal persamaan hak: kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Terlepas dari apakah seorang wanita akan bekerja dan memiliki pendapatan sendiri, semua orang berhak mendapat pendidikan. Sudah waktunya kita berhenti berpikiran bahwa pendidikan hanya untuk bekerja lalu mendapatkan uang. Pendidikan seyogyanya melatih kepekaan dan kebiasaan kita untuk terus belajar. Dan itu pun diperlukan wanita dalam mengatur rumah tangga dan mendidik anak. Bagaimana mampu mendidik anak jika pengetahuan terbatas dan kecerdasan tidak dilatih?

Dalam hal kekerasan domestik, saya sangat terganggu dan kaget saat mengetahui bahwa masih ada pembunuhan atas nama kehormatan dengan kebanyakan korban wanita. Di Pakistan dikabarkan jumlah korban wanita dari pembunuhan atas nama kehormatan ini mencapai angka seribu setiap tahunnya. Sedih sekali mengetahui bahwa pembunuh adalah ayah atau sepupu sendiri. Dan sebelum dibunuh penyiksaan dan pemerkosaan bisa saja terjadi.

Kekerasan lain menurut saya ada pemanfaatan badan wanita untuk mendapatkan keuntungan tanpa kompensasi yang seharusnya pada wanita yang bersangkutan. Seragam kerja sales rokok, misalnya.


Saya tidak setuju jika kekerasan dan pemikiran sempit mengenai peran wanita ini dikaitkan dengan agama. Saat ini saya tidak punya bukti dan alasan ilmiah untuk menyangkalnya memang. Tapi saya percaya jika agama manapun tidak membenarkan ketidakadilan dan kekerasan. Interpretasi yang melenceng terhadap ajaran suatu agama di satu sisi bisa jadi adalah penyebabnya. Propaganda berlebih suatu oknum di sisi lain membuat hal tersebut terlihat semakin buruk serta menyamarkan adanya batasan antara ajaran moral dan kepercayaan perseorangan atau sekelompok orang saja.


Suara kebebasan wanita ini sudah digaungkan sejak beratus tahun lalu dan bagaimanapun di banyak aspek kita telah melihat dunia semakin memberikan tempat bagi wanita. Bukan pekerjaan mudah untuk memperjuangkan kemanusiaan (saya lebih senang dengan kata kemanusiaan dibanding persamaan atau perlindungan wanita). Hormat saya untuk siapapun yang sudah menyumbangkan sumber daya yang dimiliki dalam perjuangan ini. Sejauh ini, semoga doa dan kesadaraan kita dan kemauan untuk menyadarkan orang-orang termasuk wanita sendiri mampu membuka jalan ke arah yang lebih baik.


(Sept'11)

Subuh

pada subuh itu, selepas hujan yang menyisakan wangi tanah
aku bersandar pada dinding yang semalaman tak berhenti menjeritkan kesunyian

mataku menerawang... melewati ventilasi kecil berdebu yang bau asap... terlalu pagi

pada subuh itu, aku bergegas beranjak
sang sipir sudah berteriak-teriak
"Bangun kalian pemalas! Kalian pikir bisa seenaknya makan tidur. Bangun!"

aku menyeret kaki yang bagai terpaku lantai dingin pada subuh itu

aku, seorang narapidana bernomor 9358741563AHJ
di sebuah penjara bernama ibu kota.

(Aug'11)

posted from Bloggeroid

Uncertainty

I've been reading a book, Ini Pun Akan Berlalu (original title: Everything Arises, Everything Falls Away) by Ajahn Chah. It reminds us that nothing lasts forever. Change is a natural process. I took it lightly because I've heard it too often until today when I learned myself that most of the time we expect things to remain the same when we like them. I am too comfortable with the thought that things won't change.


How to deal with uncertainty? When we know things will change why would we make plans?


But those questions are similar to "why would you eat when you know exactly you'd be hungry again". The answer is because that's how we live and survive. We need to eat. We need to plan. So, do not expect that you will not feel hungry by eating a lot. That's not how it works. Too bad.


(Why should I feel sad when things didn't turn out the way I wanted if I knew since the beginning it wouldn't. Oh, is it what those holy people say 'feel attached'? Jul'11)

Jahat

Dasar kau manusia tak punya hati!

. Memang, lalu kenapa? Hatiku dicuri, dirampas, dirusak dan bahkan kubagikan gratis.

Kau memang sakit!

. Aku berbuat baik. Menjadi pendonor hati.

Sudah malas berbicara denganmu!

. Ya, aku pun tak akan mampu berbicara lagi. Karena setelah hati, ginjal dan jantung kini mata, mulut, hidup dan telingan akan kusedekahkan.



(Jul'11)

Ruang - Rumah

Dalam hidup bermasyarakat sering kali kita terpaksa harus membaur dan menjaga keharmonisan, untuk itu kita perlu mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadi. Mengalah bahkan untuk hal remeh-temeh yang dengan ajaibnya membantu mempertahankan kebersamaan dengan orang di sekitar.


Namun ada waktunya kita merasa lelah dan ingin kembali ke 'rumah'. Bukan bangunan yang bisa dibanggakan karena menunjukkan kemewahan namun kenyamaan merasa diterima. Rumah yang bisa berupa orang atau tempat di mana kita bebas menjadi diri sendiri. Saat rumah itu tidak ada, kita pun membuat garis. Ruang yang kita jadikan rumah.


Namun dalam dunia yang semakin tidak jelas ini, sepertinya membuat ruang kita untuk menyendiri, untuk menjadi tuan di ruang sendiri, untuk menjadi diri sendiri semakin susah. Sehingga dengan mudah kita mengumbar privasi, ke jaringan sosial misalnya. Untuk apa? Mengusir sepi? Mencari rumah?


Bisa jadi. Saat memang tak ada tempat untuk bergerak di ruang sendiri, saat tak ada tempat untuk melepas topeng, mungkin itulah saatnya topeng itu semakin melekat di wajah kita dan kita berlari tak karuan ke muka umum mengumbar kelebihan semu karena tersesat dan tak tahu harus berbuat apa. 'Rumah' kita sudah hilang!


(Jul'11)

Hedonis, Ya!

Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. [1] Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia." (Wikipedia)

Terdengar sangat dangkal dan sia-sia jika tujuan hidup itu bersenang-senang untuk mendapat kebahagiaan dan menghindari kesakitan. Tapi jika dipikir ulang, bukankah memang begitu tujuan hidup kita sedalam apa pun makna yang berusaha disampaikan pada berbagai kemasan pandangan moral dan agama. Surga dan neraka, bukankah itu contoh kesenangan dan kesakitan. Mengejar kesenangan (baca:surga) dan menhindari kesakitan (baca:neraka)?

Hanya saja perlu diulas kembali apakah hal-hal yang kita pikir kesenangan memang membawa kebahagiaan atau justru menyengsarakan pada akhirnya? Berpesta, membeli semua benda termewah di dunia, makan makanan terenak, memiliki banyak pasangan, seks, dan sebutkan lainnya mungkin memang terlihat membawa kesenangan. Namun jika diperhatikan lebih dalam, apakah memang itu kebahagiaan?

Kehidupan para buddhis atau sufi yang bebas tanpa kemelekatan mungkin terlihat sebagai kesengsaraan. Kita sering lupa dan menilai kebahagiaan berbanding lurus dengan kepunyaan, kepemilikan. Padahal kepemilikan adalah konsep yang tidak jelas (tidak, saya bukan komunis). Dan konon kemelekatan adalah sumber penderitaan.

Lalu, bagaiman cara kita mendapat kebahagiaan dan menhindari penderitaan?

(Jul'11)

National M Day

I’m declaring today as National M Day. Why? Because we went to visit National Museum, National Monument and National Masjid. It was a refreshing and entertaining way to spend the weekend before greeting Monday.

National Museum

I've always wanted to visit the museums in Jakarta, and finally today I had the chance. My first stop was National Museum. There are two events being held at the museum: an exhibition of Portuguese culture and a solo exhibition by Cai Zhisong, a Chinese artist. I find the latter more inspiring.

The Portuguese exhibition focuses on influences of Portuguese culture on other countries. The most noticeable perhaps on architecture. Taman Sari in Yogyakarta is a good example.

In overall the Portuguese exhibition really impressed me. It gives the feeling of majesty, power and influence. On the other hand, the other exhibition, Cai Zhisong's, shows humility, humbleness and submission.

Cai Zhisong’s solo exhibition really touched me. At first I was stunned by the facial expressions depicted in his art. They show fright, surrender, humbleness (and arousal?). There was one artwork showing a more cheerful expression, I don't know what it means. But all of them look depressing. And the ambient sounds played in the background even gave me goose bumps.

-- Picture on the right side: This is the artwork that I like the most: A knight titled Ode to Motherland Number 4. It looks so manly and not as depressing compared with the other ode to motherland series. Oh, i didn't really touch it, I'm afraid I might damage it. --

For me, the interesting part of it is when I read the artist’s writings displayed beside his art works. He stated that he once thought that art was the most important thing in life but later as he grew up he did realize that it was life itself that matters and the thought he had before was naïve. I believe that all of us think that way when we were young. Work, family, money, hobbies are the things you probably have in mind as important. To feel alive. Ajahn Brahmn has a good analogy in his book that goes together with the artist’s writing. “We want to have a cup of tea then we have tea ritual. Sometimes we forget to enjoy the tea because we focus on the ritual too much.”

The expression that bothers me in the beginning then becomes clear. He wants to show submission to life. Beautiful! Beautiful sorrow if I might add.


National Monument and Masjid

It was a beautiful sunny afternoon. Nobody wants to miss that, no? I do love park so from the museum we head to National Monument (Monas). My friend wants to take a few good shots using her new camera, so we head to top f the monument. Too bad it is closed when we arrive. So, we just take a walk and some pictures while looking for bicycle for rent. Every time we ask people where the rent booth is, they show different direction. Finally, we cannot find one. So we decide to get bajaj to take us to Istiqlal, the national masjid.

When I am about to start praying I hear the bell ringing from Cathedral, church across to the masjid. Church bell before a pray, what a beautiful but weird mixture!


(Jun’11. We got Tekko for dinner, a nice place for a vegetarian because they have many options for us. Do try Jamur Crispy Penyet, Terong Penyet and Tumis Kucai. Thanks to Adit for editing.)


Langit Vanilla

Wangi vanilla menyeruak

Semerbak

Dari langit di atasku

Saat aku duduk sendiri di depan halte rusak itu


Kulihat langit hitam berubah putih

Ah, waktunya langit vanilla

Pusaran angin membuat warna putih itu berputar-putar di langit

Seperti gambar sebuah galaksi yang pernah kulihat di google

Atau seperti saat mengaduk kopi yang sedang dicampur susu


Hari ini adalah hari panen bunga

Waktunya berterimakasih pada Orchidacustus

Dewi anggrek yang kini menjadi pemimpin dewi bebungaan

Setelah membunuh Shynia, Dewi bunga putri malu


Lihat itu, hamparan langit hampir memutih semua

Wangi vanilla pun semakin kentara

Keajaiban sebentar lagi terjadi


Saat langit putih

Dan angin membeku, hening

Saat itu lah peri-peri berlarian keluar dari persembunyian

Mengambil sesajen untuk Orchidacustus

lalu mencatat nama pemberi sajen

"Panennya akan kami bantu"


Kecut

Takut

Sendiri di antara peri berlalu lalang

Mana bus yang sesore ini kutunggu


Aku berusaha berlindung dari tertabrak peri

Bahkan hanya tersentuh pun, kau akan terbakar

Mereka terbang sangat cepat

Anginnya pun bisa merobek kertas


Aku berdarah-darah

Menunggu bus

Di halte rusak itu

Sendiri

Pada malam ketika langit vanilla


(Jun'11)


Serdadu Kumbang - Film

Film Nia-Ale Sihasale kali ini mengangkat cerita anak di daerah Sumbawa, Amek. Seorang anak introvert yang memiliki mimpi sebagai pembawa berita namun sadar bahwa bibirnya yang sumbing dan kenyataan ia pernah tidak lulus ujian membuatnya menyembunyikan mimpinya. Ia hanya berani menuliskan cita-citanya itu di atas secarik kertas yang dimasukkan kedalam botol lalu digantung di atas pohon cita-cita. Pohon tempat anak-anak desanya menuliskan dan menggantungkan mimpi-mimpi mereka.

Menceritakan bagaimana ketakutan akan kegagalan ujian tahun lalu membuat sekolah di mana Amek belajar menerapkan kedisiplinan yang justru membuat para siswa enggan sekolah.Kisah klasik pendidikan kita, yang terlalu berorientasi pada hasil. Ujian Nasional memang masalah menarik untuk dibahas. Terkesan dilema memang. Jika tidak ada standar nasional, pendidikan kita pun tidak bisa diukur kemajuannya. Namun tolak ukurnya memang sangat mentah. Apakah memang Unjian Nasional ini harus dilalui terlebih dahulu? Kita memang perlu memulai dan setiap permulaan pasti ada korban yang berjatuhan? Semua kembali ke penilaian masing-masing. Keputusan Ujian Nasional tetap dilaksananan atau tidak memang bukan kewenangan kita, apa yang tersisa untuk kita lakukan adalah mengajarkan para siswa untuk menikmati proses pembelajaran sehingga kesiapan adalah buah dari semua kerja keras itu, bukan tujuan utama yang lalu menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Ditambah persoalan keluarga pedalaman yang terbentur masalah kemiskinan serta bumbu lainnya, film ini memberikan cukup banyak detail yang mungkin bertujuan agar Sumbawa-nya terasa. Sebagai film yang hanya membahas pendidikan mungkin itu terlalu memaksa. Namun sebagai film yang juga memperkenalkan kebudayaan Nusantara, bolehlah kita terima.

Salut kepada pasangan Sihasale yang konsisten mengangkat isu pendidikan anak-anak pedalaman serta penyemangat untuk meraih cita-cita.

(Jun'11. Pengen ajak Ilham sama Dinda nonton ini. Si Pia mau ga ya? hmmm..)

Lithuania - Teater

Macet hari Jumat malam kemarin tidak berhasil membuat saya datang terlambat ke Salihara untuk pertunjukan teater Lithuania. Drama kemacetan Jakarta sebenarnya sudah menjadi pembuka pertunjukan yang diadaptasi dari naskah penyair Inggris, Rupert Brooke, ini. Kemiskinan, kemapanan, kerakusan dan perasaan muak ditampilkan sedari saya duduk di Kopaja 20 hingga bangku penonton.

Mungkin tema kemiskinan vs kemapanan sudah bukan hal luar biasa lagi. Bahkan mungkin saja sudah membosankan untuk dibahas karena sudah menjadi kenyataan sehari-hati yang muak dipertanyakan. Itu pula mungkin yang membuat saya sedikit jenuh menikmati suguhan 70 menit tersebut. Bagaimanapun saya tetap angkat topi untuk tragedi yang diangkat.

Pada saat kemiskinan membelenggu dan kelaparan menjadi momok yang begitu menyeramkan, ketiga tokoh (ibu, ayah dan anak perempuan) kita inipun menjadi kehilangan akal. Apalagi saat orang asing yang menjadi tamu mereka malam itu menunjukkan betapa nikmatnya menjadi orang berkecukupan di kota.

Sekitar 80 persen dari pertunjukan saya harus menahan diri menyaksikan alur yang begitu lambat. Tapi di akhir, alur cerita menjadi cepat dan menegangkan hingga berujung tragedi. Laiknya kehidupan kita, semua berjalan lambat namun pada saat keputusan besar harus diambil, semua ketentraman diaduk-aduk dan kita tinggal menyaksikan bagaimana keputusan itu membawa kita ke tahap lain kehidupan. Dan saat keterpaksaan begitu mengikat, keputusan pun diambil dengan tergesa.

Lithuania. Tragedi keterpurukan.

(Jun'11. Mungkin "patience is a virtue" bisa menjadi salah satu pesan. Namun saat terlalu banyak berpikir dan diam bersabar, tak ada satu pun yang dikerjakan. Bukan?)

posted from Bloggeroid

Kereta

Atap kereta lah, tempat aku beralaskan duduk

Tiap pagi, dulu

Karena aku perlu ke kota melanjutkan pekerjaan

Curangkah diriku dengan tidak membayar?

Mungkin iya

Tapi aku lebih sering dicurangi

Upahku hanya seratus lima puluh ribu..padahal mungkin di atas kertas

aku seharusnya dibayar satu juta satu bulan

Aku miskin maka negara lah yang mesti memeliharaku

tapi saat aku sakit, jatah kesehatanku hanyalah isu


Atap kereta lah, tempatku mampu melihat dari tempat tinggi

sebelum seharian kepalaku harus kutundukkan

pada rakusnya dunia


Tapi kini aku tak boleh curang

Harus bayar dua ribu

Berarti empat ribu pp

Berarti uang dapur buat istri hanya seribu


Apa aku berhenti menjadi kuli di kota

Dan maling ATM saja?


(Jun'14)



Selamat Jalan Anak Kufur - Teater

Pementasan teater realis mengenai potret kehidupan pekerja seks yang bertempat di Salihara semalam, membuka akhir pekan saya dengan sebuah renungan berhias tawa satir. Saya tak mengerti realisme itu apa, tidak juga mampu berkomentar mengenai penampilan itu dari sudut pandang seni. Tapi sebagai orang yang selalu tertarik dengan masalah perempuan dan keperempuanan, banyak hal yang cukup menggelitik saya.

Tokoh germo (sebut saja mami, saya lupa apakah namanya pernah disebut) adalah tokoh yang cukup vokal dalam menggugat masyarakat patriarki bertopeng reliji. Setiap perkataannya membuat penonton manggut-manggut sekaligus getir. Mengingatkan saya pada Nyai Ontosoroh: wanita sinis yang kuat karena penderitaan dan sakit memahat hatinya menjadi batu karang. Mami ini berulang kali mengingatkan Titi, anak asuhnya, untuk berperan sebagai Perek, tidak lebih tidak kurang. Sebagai perempuan sewaan, ia tidak boleh mengumbar murah dirinya namun juga harus melayani tamu sebaik-baiknya jika sedang disewa. Bukankah itu profesionalisme? Meskipun dengan bau yang menyengat, bukankah itu adalah kenyataan yang harus diterima. Saat kita bekerja, kita seharusnya mencurahkan seluruh perhatian dan pelayanan kepada apapun pekerjaan kita. Bahkan seringkali kita mesti membunuh ego. Bukan hal gampang, namun jika pekerjaan kita adalah hal yang mulia menurut kita sehingga membunuh ego bukanlah pengorbanan, tidakkah itu patut?

Tokoh mami kita pun menggunakan istilah agama yaitu kufur untuk menggambarkan perek yang tidak bertindak sebagai perek dan melenceng bahkan tidak mengindahkan tuntunannya. Perek yang tidak lebih, tidak kurang. Banyak sekali pesan-pesan berbau feminisme yang saya setuju dan saya tolak, yang tidak akan saya beberkan semua. Sebagai penyeimbang, saya tidak menyukai kesewenangan mami yang menganggap semua pria sewenang-wenang, serta semua agama hanya pepesan kosong berbau moral. Generalisasi justru menyempitkan toleransi, kan?

Selain itu kita memiliki Titi, sang pekerja seks baru. Seorang janda kembang yang sedang gelisah akan hidup dan tujuannya. Ia sedang berada di antara frustasi dan pasrah. Area abu-abu yang selalu membuat tak nyaman.

Dibumbui dengan lakon kehidupan dimulai dari pencopet, tukang becak, makelar perek, pria lugu, preman kampung, gay, dan bahkan anggota dewan yang berasal dari latar belakang suku yang berbeda seolah pengingat bahwa ini adalah masalah seluruh orang di nusantara.

Tanpa jalan keluar dakwah hitam putih, cerita ini diakhiri dengan pilihan untuk Titi sang Perek di dunia patriarki: hidup mandiri dengan terus menjadi pekerja seks atau menjadi budak lelaki dengan menyerahkan diri.

Dan Titipun kufur.

(Jun'11. Bagaimana dengan menjadi mandiri sembari menghormati pasangan hidup sebagai partner? Oya, ketemu Ayu Utami juga! Yuhuuuuu deg-degan sampe ga berani foto bareng)

posted from Bloggeroid

The Price

"Everything in life has its price." - Paulo Coelho (The Alchemist)

Everyone knows there is a price to pay for everything they get in life, but most of the time we decline to pay it. We forget if we don't settle the payment now, we still have to pay it later plus its interest. The longer we hold it, the more we have to pay.

Cheating. Stealing. It leads us nowhere but to more debts. Guts is all we need. Paying the price now is taking the risk, responsibility and our stands. Paying later is about suffering because of denial.

The thing is people may not see the guts, the payment. For instance, a student must attend the class every day otherwise he will be punished. We cannot really tell if the boy has paid the price or not when he decided to skip the class. If he knew the consequence and was ready to be punished then he paid what is needed. But if he left the class but was never ready for the punishment, he would somehow pay it some other ways. And nature knows better to handle that. For us, the fact is he has skipped the class and we don't know (or even don't care) about the payment.

How do we know that we do not overpay? I have no idea. I just believe that there is no such thing as ripoff when dealing with nature.

“Everything you want in life has a price connected to it. There's a price to pay if you want to make things better, a price to pay just for leaving things as they are, a price for everything.” - Harry Browne.


(Jun'11)

Dunia Lain

bila benar adanya
tempat lain di sana
mungkin aku sedang terbang,
atau menggeliat mendesah,
atau tertawa terbahak

dan di dunia lain sana
aku seorang papa yang melarat,
atau juga seorang raja,
atau pemerkosa dan pendusta,
atau hewan melata yang sedang memangsa

hai dunia lain di sana
adakah surga dan neraka?

(May'11)

posted from Bloggeroid

A Child

I had a conversation with my boyfriend about not having a child could be a good solution. Looking at current situation (greedy exploitation of energy resources, etc.), givinga birth to a child would be only giving him sufferings. But then we become so optimistic and belive the chance of surviving and having a good life is still there.

Anyway, I do know some people who decide notto have children. That is none of my business. However if I look at them (a friend of mine, bhiksu, etc), I'm amazed how deep their understanding of human beings, life and meaning of all of it. They know better how to raise a kid. How to raise human being. But decided not to have one.

Ironically, on the other hand we have these new born babies of those who are still confused of themselves. Wouldn't those babies grow older? What would they be if the parents do not know how to raise them? Wouldn't they just 'replicate' the parents?

Don't you think we have too many parents giving birth to new life but not enough parents able to raise them?

(May'11. Can I become a parent?)

posted from Bloggeroid

Pernikahan

"Meet prince, get married and live happily ever after." Terdengar membosankan. Begitu pula pembahasan mengenai kebosanannya, sungguh membosankan! Tetapi tetap saja, saya ingin membahasnya. Saya tertarik dengan pernikahan.


Saat pernikahan dianggap pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih bebas. Tanpa aturan orang tua. Atau pernikahan adalah hasil dari keputusan tergesa-gesa saat mengalami euphoria mematikan bernama jatuh cinta. Atau saat pernikahan hanya untuk mendapatkan legalitas berhubungan badan. Atau saat pernikahan adalah alat untuk mengeruk harta pasangan. Atau yang juga menyedihkan, saat orang yang menikah tak benar-benar tahu tujuan dari pernikahan yang akan dijalani. Saat itulah hati saya terenyuh.

Lagi, saya teringat ucapan Mario Teguh bahwa jatuh cinta adalah sebuah kecelakaan yang indah. Yang keindahannya hanya bisa diperpanjang dengan persahabatan. Maka pernikahan bukankah sebaiknya dilandasi rasa persahabatan?

Lalu mengapa perlu menikah hanya untuk menjaga persahabatan? Karena ada komitmen yang diinstitusikan.

Jika pernikahan disempitkan pada komitmen, maka sebenarnya kita menikah tiap saat. Dengan diri kita. Dengan kata-kata kita. Seandainya kita tidak mampu menikah (dalam hal ini) berkomitmen dengan hal-hal sederhana atau dengan kata lain saat kita tak mampu menepati kata-kata kita sendiri, bagaimana kita mampu berkomitmen dengan orang lain?

Jadi, bukankah wajar jika banyak pernikahan terombang-ambing dan berakhir menyedihkan? Kita tak mampu menikahi diri kita sendiri. Kita sering membohongi diri sendiri. Mengkhianati diri sendiri.

Mari mulai mencintai dan menghargai diri kita dan menjalankan pernikahan dengan baik dan bahagia. Dimulai dari pernikahan dengan diri kita sendiri.

(May’11)

Is It A Burden?

I was hoping that someone will ask me what difficulties I face as a vegetarian are. People keep judging and challenging me or doubt my decision. But hey, it is not the first time people under-estimate or doubt me!


Whether or not anyone reads it, I want to share that the hardest part of being vegetarian is when you become a burden for people around you because of your preference. Given the fact that most restaurants and food stalls serve meat based dishes, I find it difficult to find meatless food. As lacto-ovo, it is easier for me to find food than for vegan though. I'm consciously accept that. Becoming a vegetarian is not one night decision. I had considered that as well.


However, every time I go out with friends and they want to enjoy places where they have nothing for me to eat, they will need to change the plan. I'm glad to know that my friends are thoughtful. But I do know some of them grumble. I've been trying to explain that I'm OK when the only thing I can do is just having dessert or drink.


I have no idea how they 'suffer' from it. I just hope I'll find a way to release this guilt.I don't want to be a burden.



(May, 11. Curhat deh)

Batas Rasa

rasa ini tidak membakar, sayang
rasa ini menghangatkan

rasa ini tidak membekukan, cantik
rasa ini menyejukkan

tak menggebu
tak merampas
tak meringkus
tak memaksa

namun tak mengalah..tak pernah

tak akan ku mundurkan langkah
tak juga melewatinya

rasa ini sayang
biarkan begini

(May'11)

The L Word

I've been always trying to define what love is. Every time I was stupid enough to think I knew love, I'd define the love. But, it is no longer the love I feel when I use words to describe it.

I fail to understand the love. When I give up and stop thinking, surprisingly I fall in love. Deep. With you. With them. With nature. With the life. With something you might call God.

It is more than happiness and sadness. Neither joy nor pain. Oh see.. I'm trying to describe it and failing, again.

(Apr'11)

posted from Bloggeroid

Tanda Tanya tentang Tanda Tanya

Sehabis menonton ?-nya Hanung, saya tidak langsung beranjak keluar dari bioskop karena masih sesenggukan akibat terharu. Betapa keharmonisan hidup antar pencari Tuhan semestinya bisa dibangun seperti itu.

Di tengah maraknya film-film porno featuring hantu, film ini mengembalikan kepercayaan bahwa masih ada orang-orang waras di negeri ini yang mau membuat film untuk orang-orang yang otaknya masih di kepala, bukan di antara selangkangan saja. Meskipun seharusnya saya terbiasa, saya tetap saja terheran-heran dengan klaim sesat untuk film ini.

Boleh percaya atau tidak, saya memang bukan orang yang soleh tetapi saya bangga menjadi orang Islam. Memang saya bodoh. Tidak tahu apa-apa tentang agama. Tapi hati serta pikiran saya menuntun untuk sedih melihat permusuhan, sumpah serapah, pembunuhan antar umat beragama yang berbeda.

Kembali ke kontra terhadap film ini, pertama mengenai protes Banser yang merasa dikecilkan oleh Hanung. Saya sebagai penonton sama sekali tidak menangkap kesan bahwa Banser itu agresif dan dangkal. Justru sebaliknya, saya menangkap kesan patriotik dari mereka. Kalaupun tokoh Soleh digambarkan sebagai orang berpikiran sempit di awal dan tengah cerita, jika disimak jalan ceritanya kita bisa lihat pergulatan batin dia atas permasalahan hidup yang menyebabkan dia berbuat begitu. Dia tidak dengan sadar melakukan perusakkan. Bukankah mungkin begitu pula saudara-saudara kita yang turun ke jalan untuk berbuat kerusakkan? Entahlah.

Lalu, mengenai murtad. Saya rasa film ini tidak berdakwah untuk mengajak orang Islam untuk pindah agama. Bahkan toleransi keagamaan yang ditujukkan tokoh yang lalu menjadi seorang Katolik, patut diacungi jempol. Jangan lupa, di akhir cerita ada pula salah satu tokoh lain yang masuk Islam.

Terakhir, bekerja di tempat haram. Restoran yang berjualan babi. Ah, saya tidak mengerti hukum Islam mengenai ini. Tapi coba jelaskan apa itu tempat haram? Bolehkah DPR disebut tempat haram, karena di sana ada orang yang memakan uang haram, bukan?

Selagi berbicara mengenai toleransi beragama, saya ingin kembali mengingatkan pula perjuangan Anand Krishna untuk melawan ketidakadilan hukum dengan cara mogok makan. Kabar terakhir menyebutkan bahwa kondisi kesehatan beliau menurun drastis karena sudah lebih dari 40 hari aksi itu dilakukan. Mari berdoa untuk beliau serta kebaikan kehidupan antar umat di negeri ini.

(Apr'11)

posted from Bloggeroid

Tersesat pada Diri

Ada seekor ular yang ditakuti semua makhluk hutan selalu menganggap dirinya ulat. Dia yakin dia lah ulat yang akan bertapa dalam kepompong untuk menemukan dirinya yang baru dalam bentuk agung.

"Kamu lupa peranmu..."
"Cuih, aku yang memilih untuk hidup. Diamlah Kau..sejak hari ke-tujuh Kau tak berhak bersuara! Bukankah begitu?"
"Kembalilah kepada dirimu, anakku."

Ia gelisah namun kegembiraan membuncah. Seluruh tubuhnya panas, geli, gatal. 'Aku bermetamorfosis!' Tapa khusu-nya terganggu, seluruh badannya perih. Ia tampak kesakitan, namun bentuk agung bersayap yang ada dalam angannya bertahan. Di puncak kesakitan, iapun jatuh tak sadarkan diri.

Matanya terbuka perlahan, 'kupukah kini aku?' Namun yang ia dapati kulit baru yang lebih bersisik bersamaan itu bisa yang lebih beracun. Ia marah.

"Aku menggugat yang mahasempurna! Mana kesempurnaanMu pada diriku?"
"Kembalilah kepada dirimu, anakku."

(Apr'11)

posted from Bloggeroid

Timbangan

"Tuhan tahu dunia tidak adil, kenapa mesti terus menerus mengeluh pada-Nya?"

Seorang kawan pernah berkata demikian. Tahu reaksi saya pertama kali mendengarnya? Kesal! Ya, kesal. Tapi setelah semua mereda dan saya berpikir ulang, bukankah ini PR kita sejak lama: memaknai keadilan.

Saya tidak bisa menjelaskan apa itu keadilan menurut Plato atau pemikir lainnya, jadi tidak perlu repot-repot membaca kelanjutan tulisan ini jika mengharap jawaban pakar. Menurut saya, keadilan yang hakiki itu masih sama misteriusnya seperti tuhan dan cinta. Adapun keadilan yang nyata yang (mestinya) bisa kita perjuangkan adalah berdasarkan perarturan yang berlaku di semua tingkatan kehidupan kita. Keluarga, masyarakat, sekolah, kantor, negara. Harusnya rasa keadilan yang paling nyata dan mungkin terpenuhi ada jika telah mengikuti aturan tersebut. Tapi rupanya, dengan sejelas-jelasnya aturanpun kenyataan tetap bisa diputarbalikkan sehingga kita seringkali merasa ditipu, dikhianati dan dirusak rasa keadilannya.

Jika keadilan pada hal-hal yang jelas saja sulit terwujud, bagaimana kita bisa menjelaskan, menemukan dan merasakan keadilan yang hakiki. Keadilan yang kabarnya berasal dari nurani. Bah, cukup! Tak ada nurani atau keadilan hakiki yang bisa saya ceritakan. Buta saya terhadap mereka.

(Mar'11)

Hujan

Hujan
hanyutkan serta
kisah singkatku
pada lautan makna..

(Mar'11. Hari Minggu yang hujan)

posted from Bloggeroid

Karena Tuhan Sebegitu Sayang Iblis

Terpasung aku pada satu dosa yang tak pernah hilang benar

Muak

pada rasa bersalah
pada rasa terhina

"Aku ingin jadi manusia saja, boleh berdosa berkali-kali"
"Tahukah kau, tuhan sayang iblis"

Dekapan erat ditemani air mata melukiskan siluet kisah yang terbarui

(Mar'11. Makasih Uu)

posted from Bloggeroid

Keseragaman Kami: Sadar Kami Beragam

Malam Minggu yang menyenangkan. Diisi dengan mencicipi sedikit kesadaran, berbagi sedikit kegundahan dan pengalaman. Saya berbagi dengan kawan-kawan di Kedai Kesadaran. Kedai Kesadaran adalah suatu tempat di mana kita saling berbagi untuk mempertahankan naik turunnya kesadaran kita dalam harmoni. Berhubung saya bukan orang yang tepat untuk menjelaskan Kedai ini, saya hanya akan menceritakan apa yang saya alami. Dan ini belum tentu menjelaskan apa itu Kedai Kesadaran secara objektif (emang ada?) atau yang para pengurusnya maknai dari kegiatan ini.

Tema yang cukup berat: apa itu arti hidup. Bukan sesuatu yang bisa terjawab dalam diskusi satu jam. Dan sepertinya kita semua sepakat bahwa ini bukan tema yang akan tuntas dibahas dalam waktu singkat. Pak Haryo, salah seorang peserta yang juga disepuhkan menjelaskan bahwa hidup ini adalah kado istimewa dari Sang Pencipta. IA ingin memberikan kejutan, dan kejutannya adalah arti kehidupan itu sendiri. Sehingga justru pertanyaan itulah sumber dari semua yang kita jalani di hidup ini.

Kawan-kawan yang lain menjelaskan pula bahwa hidup akan berarti saat kita bisa membagi kebahagiaan dengan orang lain. Beberapa memaknai bahwa membahagiakan orang lain, melayani sesama sebenarnya adalah sumber dari ke-ego-an kita karena kita adalah makhluk individualistis.Beragam jawaban mulai dari mendapatkan nilai A pada tugas kuliah adalah makna hidup, hingga kehidupan dalam kematian.

Sayapun tidak akan menjelaskan, apa itu makna hidup. Pertama karena memang saya tidak tahu. Kedua karena seperti beragam jawaban yang diutarakan tadi, kita semua memiliki pengalaman hidup yang berbeda, lingkungan yang membentuk kita dengan berbeda, tahap kesadaran yang berbeda pula.

Namun, pada akhir acara saya tersenyum dengan lepas saat menyadari bahwa, kami berbagi dan tidak saling memaksa. Karena kami sadar kami berbeda. Diskusi untuk mengetahui apa yang orang lain pahami membuat jendela kita untuk memandang dunia lebih lebar.

Ya. Kita beragam. Apapun tujuan hidup yang kita maknai saat ini, mari kita jalani. Lanjutkan hidup dengan menikmati perjalanan dengan hamparan pemahaman di setiap tahap kesadaran kita, dengan lentera berupa pertanyaan: untuk apa saya hidup.

(Mar'11)

Bukan Teman Setiap Orang

Mungkin ini waktunya saya benar-benar mengakui kalau pada situasi tertentu kita tidak dapat memilih untuk menjadi kawan setiap orang. Ada saatnya peran yang harus dimainkan adalah polisi jahat, bawang merah, si jahat. Perlukah saya membela diri, bahwa ini demi kebaikan? Rasanya tak perlu. Namun saya dengan sepenuh diri menyadari tindakan ini dan dengan tangan terbuka menerima segala konsekuensi atasnya.

Ya, nurani sayapun bingung. Saya tak bisa terus abu. Mesti mengambil langkah baru. Pilih peran dengan mantap tanpa ragu. Meskipun peran kecut yang menuai ribut. Peran yang menjadi gunjingan di depan dan di belakangku. Peran yang perlu ditempuh.

Dan peran ini, bukan putri salju baik hati...

Bukankah Muhammad pun tak disenangi setiap orang..namun ia bisa tetap jadi rahmat semesta alam

(Mar'11, bekerja dengan iman)

posted from Bloggeroid

Ke-MANUSIA-an?

Kemanusiaan atau humaniora menurut dewa ilmu pengetahuan wikipedia yang juga merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya.

Nah, apa pula berbudaya? Kata dewa wiki lagi: Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Lalu, lalu, lalu? Lalu semua definisi itu memuakkan! Saya yang dengan sombongnya ingin hidup demi kemanusian, ingin meninggalkan pekerjaan 9 ke 5 yang membosankan. Hanya saya lupa, bahwa kemanusiaan melibatkan manusia di dalamnya. Apakah saya ingin hidup untuk manusia lainnya? Bukankah kesadaran menuntun kita untuk hidup melayani manusia lainnya? Lalu mengapa pula saya masih 'membenci' sebagian manusia?

Lupakan membuat manusia menjadi manusiawi. Lupakan manusia yang berbudaya. Apa pula itu akal dan budi, jika saya masih belum bisa menerima keberadaan manusia yang tidak sesuai dengan yang saya harapkan.

Bolehkah membenci pembunuh orang tak bersalah (di mata hukum)? Tidak, karena berarti saya sama saja jahat jika saya membenci sekalipun itu pembunuh. Tapi jika saya tidak membenci pembunuh, keluarga yang menjadi korban akan sakit hati, dan mengatakan saya tidak punya perasaan kemanusiaan. Nah loh?

Apakah memang kesadaran dan penerimaan hanya mampu mewujud di wilayah ide? Pada perbuatan dan perkataan serta semua pe-an yang membuat kita manusia, kita harus selalu memilih satu sisi. Sisi yang batas tengahnya adalah akal budi versi manusia-manusia sekitar kita.

Jangan terlalu sedih karena kita ada di sisi yang tidak disukai, karena hey mungkin di dalam hatimu dan di dalam akalmu ide kemanusiaanlah yang sebenarnya hidup.

Kita manusia lahir.

Ada karena memilih.

(Feb'11)

Khomeini - Untuk Bangsa yang Tertindas

Acara pemutaran film dokumenter perjuangan Imam Khomeini di Usmar Ismail Hall tanggal 12 Pebruari 2011 ini cukup menarik perhatian saya. Meskipun tak tahu banyak soal Iran dan revolusi Islamnya, saya cukup tertarik dengan Iran karena sikapnya yang berani terhadap dunia barat serta kemajuan ilmu pengetahuannya. Berangkatlah saya dengan rasa penasaran yang membuncah untuk mengetahui perjalan tokoh di balik revolusi yang mencengangkan itu.

Tidak Barat Tidak Timur namun Kerakyatan Islam

Berbeda dengan tokoh-tokoh revolusi saat itu, beliau tidak mengusung salahsatu paham yang biasanya digunakan para revolusioner. Sebagai seorang ulama, para pakar politik dari negara lain banyak mempertanyakan landasan gerakannya. Slogan dari pergerakannya adalah: Tidak timur tidak barat tapi kerakyatan Islam.


Tugas Keagamaanku Menulis dan Berdakwah

Beliau sempat menyatakan bahwa ibadah sholat jumat adalah ibadah politis sehingga dakwah jumat seharusnya adalah dakwah politik. Dan Islam tidak bisa dipisahkan dari urusan politik. Karena Islam selain mengatur hubungan Allah dan manusia, ia juga mengatur hubungan antarmanusia. Serta menjelaskan bahwa mesjid seharusnya menjadi tempat menyelesaikan permasalahan umat.

Karena tindakan-tindakan beliau yang meresahkan rezim saat itu, beliau diasingkan di dalam negeri Iran sendiri serta luar negeri. Negara pertama yang menjadi pengsingan luar negerinya adalah Turki, lalu Irak dan terakhir Perancis. Di Turki dan Irak pada mulanya beliau bisa berdakwah dan berkorespondensi dengan anaknya di Iran untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya. Namun selalu saja pada akhirnya ia mendapat pencekalan dengan berbagai cara. Sebab rupanya meskipun berada di pengasingan, beliau tetap mampu menyemangati perjuangan rakyat Iran bahkan memimpinnya.

Suatu saat di Irak, beliau dilarang berdakwah dan juga menulis tetapi beliau menolaknya dan mengatakan, "Tugas keagamaanku adalah menulis dan berdakwah...". Lalu tak lama beliau pindah ke Paris dan diancam tidak akan pernah diterima di negata Irak lagi.

Toleransi Keagamaan

Di Paris, beliau seperti di tempat pengungsian sebelumnya, mendapat banyak kunjungan sperti kalangan ulama dan pelajar. Kali ini wartawan Amerika pun termasuk di dalamnya. Dukungan dari warga Iran yang tinggal di Paris juga turut serta membuat beliau semakin bersemangat dengan perjuangannya.

Hal menarik selama beliau tinggal di Parissalah satunya adalah ketika malam Natal beliau menyurh anaknya membagikan kue untuk para tetangga mereka di sana. Kejadian ini cukup menarik media internasional dan perjuangan beliaupun semakin tersoroti.

Keberanian beliau mempertahankan kekayaan rakyat serta mengembalikan hak rakyat yang dirampas asing maupun segelintir orang dari bangsanya yang berkhianat dan penjilat asing semestinya menjadi pelecut semangat kita, sebagai orang muda untuk juga membebaskan bangsa ini dari penjajahan modern yang bersembunyi dibalik indahnya kata demokrasi, HAM dan modernisasi yang hanya sekedar kata tidak menyata, tidak benar-benar merakyat, melindungi hak maupun pemajuan di segala bidang. Bukan?

Hmmm.. Mulai dari mana?

(Feb'11, saya ga ngerti politik, ga ngerti revolusi..cuma pengen bangsa kita maju)

Pejuang Tuhan(?)

Seorang guru yang selalu saya hormati suatu hari pernah menceritakan kisah Ali bin Abi Thalib r.a. di medan perang. Maafkan kelemahan saya dalam menghapal detail, saya lupa pertempuran apa yang dimaksud serta redaksi aslinya. Pada saat itu, Imam Ali berduel dengan seorang lawan dan pada saat lawannya terdesak dan hanya tinggal setebas pedang maka Imam Ali dapat menjatuhakan lawan, sang lawan meludahi Imam Ali. Apa yang dilakukan beliau? Meskipun saat itu beliau ada di posisi bisa "menghabisi" lawan, beliau justru berbalik dan tidak meneruskan. Dan menjelaskan bahwa sedari awal beliau berperang demi Islam, tapi pada saat lawannya meludahi, beliau khawatir jika beliau membunuhnya karena nafsu amarah.

Lalu mengapa di saat tidak ada perang dan masih banyak jalan damai untuk menemukan solusi atas perbedaan pendapat, kita masih membunuh? Bahkan membantai. Apakah benar membunuh demi agama atau hanya amarah yang tak jelas ujung pangkalnya? Jika jelas ujung pangkalnya, apakah hanya bisa lewat membunuh? Apakah mereka yang membunuh itu benar-benar sadar apa yang dilakukan atau hanya jadi algojo buta yang digerakkan para dalang berkepentingan?

Semoga kita bisa sadar untuk tidak diprovokasi. Semoga para pengambil kesempatan tidak memperburuk keadaan. Semoga para dalang..ah Tuhan, aku bingung mesti berdoa apa untuk mereka.

Tuhan, tolong sadarkan kawan-kawan kami yang semakin buta dan mudah terpancing, karena merekapun mungkin sama seperti kami. Hanya pion. Tuhan, tolong kuatkan kawan-kawan kami yang sedang ditekan, karena merekapun mungkin sama seperti kami. Hanya alat. Tuhan, tolong eratkan kerukunan kami. Kami yang memanggilmu baik dengan nama yang sama maupun dengan nama yang berbeda.


gema kebesaran nama tuhan mewarnai langit yang memerah, yang kelak mewarnai tanah dengan merah pula...

citra kekuatan tuhan menjelma bagai karang bagi mereka yang bertahan, bagi mereka yang tertekan...

tuhan yang sama
sisi yang (dibuat) berbeda

padahal tuhan, ada pada semua

(Feb'11. Tuhan, aku memang makhluk yang banyak meminta. Maaf.)

Repost: Mealtime = 15-minute Hell

I was again bothered by question of being a muslim vegetarian. When I looked at my notes, I found this on my back up data. I wrote it when I have not decided yet to stop eating meat. Uploaded on my facebook on Thursday, July 2, 2009 at 7:29pm


-------------------------------------------------------------------------------------------

I always believe nature talks to me in her own way. It can be trough people, experience, or any signs from the nature herself. Now I think she's forcing me to stop my ignorance of animal's exploitation. Well, it's hyperbole yet I believe later these signs will lead me to the issue (or they already have? ).

One day, a fellow who is a vegetarian talked to me about membership of WWF -it’s not those matches where boys in panties fighting each other!!! Although after being sued they changed it to WWE-. It is an international non-governmental organization working on issues regarding the conservation, research and restoration of the environment (cited from Wikipedia, our God of Knowledege ;))

He complained about its activists who still eat meat. For me it’s not even a problem since we do not eat rare and endangered animals. Still this fella had his own arguments. “What will happen if everyone stops eating meat? How about the possibility of overpopulation of animals?”, I asked. He believes the increase of density of animals (in this case farm animals) is caused by cattle cultivation. If people start reducing their consumption of made-of-animal products (meat, leather, gelatin, brushes etc.) then cattle cultivation will reduce and the wild life (except human beings) takes care of animal population.

About a week before the talk I visited Dee’s site (one of my fav writers), she become a vegetarian and had a campaign related to eviromental issues. Then at the night I raved about being a vegetarian to a ‘friend’ and he thought I was joking and asked if I wanted to be a bhiksuni. Although after attending yoga class I’ve eaten lesser red meat, I wasn’t sure if I could stop eating meat.

I’m quite familiar with kejawen (it’s a Javanesse perspective of life which believes that nature has an ultimate value), so for me it’s too “human-centric” if we say that animals are there only to support human beings life. To be eaten. To be killed.

I’m still confused by the question of the meaning of (my) life then another appealing yet hard-to-be-answered question comes to mind: what is the meaning of animals’ existence?

So, mealtime for me is the moment of my ignorance toward this.

Berapa Saya Dibayar

Jika Anda mengharap jumlah dalam Rupiah atau USD, silakan menghentikan membaca karena akan kecewa dengan tulisan ini.

Pernah Mario Teguh dalam salah satu sesinya menyebutkan bahwa rejeki itu bukan hanya gaji kita tapi juga kesehatan (coba kalau sakit, perlu pengeluaran ke dokter atau obat bukan?) dan lainnya. Berdasarkan nasehat tersebut serta berkaca dari keadaan saya sekarang, sayapun berpikir berapa saya dibayar sekarang?

Gaji

Gaji pokok ditambah uang makan dan transportasi plus lembur sayapun mungkin hanya uang 'receh' bagi Gayus. Relatif pas-pasan untuk tinggal di Jakarta sembari kuliah. Namun tetap: Alhamdulillah.

Bos/Atasan

Saya cukup beruntung bekerja dengan para project manager yang ahli dan baik (maap saya tidak ikut barisan 'My Stupid Boss'). Banyak hal yang dapat saya pelajari dan tiru baik itu hard maupun soft skill. Alangkah mengehemat uang dan waktu karena saya tidak perlu mengikuti seminar leadership atau pelatihan project management karena saya bisa 'mencontek' cara mereka dan tidak tanggung-tanggung merekapun dengan senang hati mengajari. Coba hitung berapa biaya seminar leadership dan pelatihan ini itu yang belum tentu praktis dan sesuai dengan lapangan?

Tim

Saya pernah terharu dan bangga saat teman saya bercerita bahwa bekerja dengan suatu tim (saya termasuk di situ) adalah pengalaman yang berharga. Peer memang kadang-kadang menyebalkan, tapi banyak yang bisa didapatkan dan dipelajari. Apalagi jika bisa bekerja dengan tim 'emas'. Mirip seperti mencontek atasan, ada banyak hal yang bisa ditiru dan dipelajari dari hal-hal yang merupakan kelebihan anggota tim yang saya belum tahu.

Visi

Ini agak sedikit idealis. Sejalan dan menyukai visi perusan kemudian tahu bahwa apa yang dikerjakan sesuai dan membantu terwujudnya visi adalah hal yang memuaskan. Dan ini priceless. Saya bisa taruh para pengusaha bervisi serta ibu rumah tangga sebagai orang yang mendapat nilai tertinggi untuk variabel ini.

Waktu

Ini cukup mengganggu, karena saya masih belum punya kebebasan waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Namun dibanding tempat kerja lain yang saya tahu, saya bisa mempunyai waktu yang lebih fleksibel meskipun tetap mengikat. Kalau untuk variabel ini, bisa dibilang kadang 'menambah' nilai 'bayaran' saya namun bisa juga 'mengurangi'-nya.

Apakah saya puas dengan pekerjaan saya? Sebagai makhluk yang perlu bersyukur saya akan berkata iya. Sebagai makhluk berkembang saya akan berkata tidak. Dan saya ada di antara.

(Jan'11)

Lentera Jiwa-nya Nugie

Mengawali tahun masehi baru dengan lagu:






Sudahkah saya mengikuti Lentera Jiwa? Saya rasa belum..tapi menuju ke sana

About me

Foto Saya
Cie
- writes everything coming to her mind - loves sleeping - wants to own a library - hates routine - loves the pleasure of discovery
Lihat profil lengkapku

Blog Archive

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

People Read the Blog

Visitor

hit counter