All That the Nature Shows Me

This is all about what the nature teaches me, through people, nature itself or consciousness.

Mimpi Babak Pertama


Mimpi adalah yang membuat saya mau repot-repot ke Jakarta: ikut-ikutan macet, rela menghirup polusi, pernah mengalami burnout*, hidup seperti zombie dengan rutinitas yang super membosankan. Tapi, saya punya segudang alasan untuk itu. Saya punya mimpi-mimpi dan untuk mewujudkannya, saya harus bekerja keras terlebih dahulu. Saya harus punya modal, baik itu modal mental, ilmu, jaringan maupun dana.

Selain punya sekolah, taman baca, kafe buku, pergi ke Nepal lalu Vatican dan segudang mimpi lainnya, saya ingin menjadi penulis yang bukunya dapat dibaca oleh orang banyak. Saya ingin, cerita hidup saya membekas. Bukan hanya angin lalu.

Memang sepenting apa sih hidup saya sampai harus 'membuat' markah bahwa seorang saya pernah hidup? Saya sering berpikir seperti itu. Beragam alasan (yang saya yakini hanya pembenaran) muncul. Saya ingin berbagi pengalaman, ingin mengajak orang bersama-sama memikirkan kembali hal-hal yang biasaya luput dari perhatian kita, ingin memberikan dampak positif bagi masyarakat dan alasan-alasan naif lainnya. Padahal jika dirunut kembali, semua alasan itu pada dasarnya adalah untuk kepentingan diri saya sendiri yaitu agar saya merasa bahagia.Semulia apapun niatan kita untuk membantu orang, pada hakikatnya itu untuk kepentingan diri kita sendiri. Setidaknya bagi saya begitu. Membuat orang menjadi merasa lebih baik dengan dirinya sendiri akan memberikan kepuasan dan kelegaan yang pada akhirnya membuat saya bahagia.

Jadi alasan saya untuk menulis agar saya bahagia. Dan mencetaknya serta menjualnya sendiri yang orang sebut sebagai “self-publish” adalah salah satu langkah saya untuk mendekati terwujudnya mimpi saya. Self-publish memang bukan tujuan akhir, tapi ini adalah tahapan awal untuk tulisan yang masih perlu banyak diasah. Kalau komika perlu open-mic untuk melatih bit-bit mereka sebelum stand-up beneran. Blog dan self-published books adalah tempat latihan dan tahapan untuk menjadi published author.

Jika ingin menjadi bagian dari mewujudkan mimpi seseorang, silakan lihat http://nulisbuku.com/books/view_book/4962/celotehan dan jika tertarik silakan membelinya. Saya berharap ada pembaca yang memberikan tanggapan terhadap catatan-catatan saya di dalam buku tersebut. Tanggapan baik ataupun buruk akan saya gunakan sebagai bahan pembelajaran.

Mari melangkah sedikit demi sedikit menuju mimpi-mimpi kita. Lebih baik 100 langkah kecil yang dilakukan daripada membayangkan 1 langkah besar yang tidak pernah dilakukan, bukan?

(Dec'13)



*burnout sedang menjadi topik yang cukup hangat di internet. Ini adalah gejala tertekan berkepanjangan yang banyak terjadi kalangan pekerja terutama pekerja kelas menengah. Saya akan menuliskan masalah burnout secara terpisah, mengingat saya pun pernah mengalaminya dan berusaha melewatinya dengan susah payah.

Turun Tangan

Tidak sampai setengah tahun yang lalu, saya tak acuh mengenai Tahun Pemilu: 2014. Saya menganggap tidak akan ada yang berbeda mengenai Pemilu mendatang. Karena saya skeptis. Bukannya saya tidak peduli dengan Bangsa Indonesia, percayalah saya peduli. Saya masih menyisakan kepercayaan bahwa kita Bangsa yang (bisa) besar. Saya masih ingin berbuat sesuatu untuk Bangsa ini. Dan saya ingin melihat nasib kita menjadi lebih baik: sudah bisa lepas dari kebodohan dan kelaparan. Namun saya ini sangat skeptis terhadap pemerintah. Gregetan rasanya jika hanya harus menunggu mereka bertindak. Greget itu pula yang pernah menyemangati saya dan teman-teman di kampung untuk membuat organisasi anak muda untuk mengisi masa muda dengan kegiatan-kegiatan positif.

Maka, sampai tiga bulan yang lalupun saya tidak peduli mengenai siapa yang akan menjadi pemimpin negeri.

Namun, beberapa bulan lalu saya mendengar adanya konvensi Capres partai Demokrat. Tidak terlalu menarik untuk saya pada awalnya. Hingga saya melihat peserta-peserta konvensi dan menemukan bahwa salah satunya adalah: Anies Baswedan. Saat itu saya belum tahu kalau ternyata beliau adalah 1 dari 500 muslim berpengaruh di dunia versi Royal Islamic Strategic Center Yordania atau 1 dari 100 intelektual dunia versi majalah Foreign Policy. Yang saya tahu saat itu adalah dia seorang akademisi dan penggagas Indonesia Mengajar. Saya ingin sekali terlibat dalam Indonesia Mengajar, namun karena satu dan lain hal, pergi ke pedalaman dalam waktu satu tahun tidak mungkin saya lakukan dalam waktu dekat; selain karena saya belum selesai S1 juga.

Ide Indonesia Mengajar sangat cocok dengan saya: tidak perlu menunggu pemerintah untuk berbuat baik bagi Bangsa. Jika kita bisa melakukannya sendiri, kenapa tidak? Maka, mengetahui PakAnies Baswedan ikut konvensi dan berpeluang untuk menjadi presiden merupakan angin segar. Selama ini kita rakyat kecil selalu bilang 'kita tidak butuh janji, tapi bukti' dan saya rasa Pak Anies tidak perlu jargon 'memberi bukti, bukan janji' karena apa yang sudah dia lakukan sejauh ini untuk bangsa sudah merupakan bukti. Saya merasa 'klik'. Saya benar-benar ikut antusias dengan tekad beliau dalam mewujudkan cita-cita bangsa: mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan saya ingin terlibat dalam perwujudan cita-cita itu.

Meskipun awalnya ada sedikit ganjalan, karena konvensi ini adalah konvensi partai yang sedang (menjadi sorotan sebagai) bermasalah tapi partai mana sih yang tidak pernah bermasalah? Lagipula anggap saja ini sebagai peluang. Kapan lagi orang non-partai punya kesempatan seperti ini?Saya yakin ini saatnya kita berhenti duduk diam tidak peduli siapa pemimpin kita dan akan dibawa ke mana negeri ini. Saya yakin semua kontribusi kecil kita untuk masyarakat akan bisa lebih memberikan manfaat jika ada sistem yang mendukung. Untuk itu, mari kita mulai dari menggunakan hak pilih kita dan memilih pemimpin yang tepat.

Bagaimana jika ternyata Pak Anies tidak bisa menjadi presiden di 2014? Maka, kita bisa terus mendukung program-program beliau dalam mewujudkan cita-cita bangsa seperti yang sudah beliau lakukan selama ini. Yang penting untuk saya adalah mendukung orang yang baik melakukan hal yang baik bagi bangsa. Dan kesempatan kali ini, merupakan peluang yang perlu diperjuangkan.

(Dec'13)

The Cat

If you are an internet addict, you should know that today is Schrodinger's birthday because Google celebrates it by using its Doodle.  Honestly, I know nothing about him and his theories but limited understanding about his famous cat theory only . For you who haven't googled this Schrodinger cat, you should start. But for the sake of this writing, I will emphasize on this:  his  theory is  that unless you open a filled-by-poison box,  you won't know that the cat which was put inside the box is alive or dead. So, before you open it, the cat is either alive or dead. Two states at the same time.  Pls cmiiw.

I find it a  scary and disturbing idea. But at certain point, sometimes you are facing the situation of this dead or alive condition which require your decision to open the box. Often, I'll let it the way it is to comfort myself that if I don't open it, there's still a chance for things to keep alive.  Yet unlike the famous cat, in life when you choose nothing, it usually means you choose the dead condition.

So, today I opened up one of the boxes. I took a life-or-death decision. I brace myself to see what is actually left for me there. I'll see if it is still alive. If it isn't then I have been prepared with courage to live with poor decision. Decision to open it too late or too soon. Decision to know that the result may not be pleasing.

People make poor decisions. I made them too. Some of them may impact other people's life and hurt them badly.  For that, from  the deepest part of my heart, I apologize.  I feel terriblly sorry because I never meant to hurt anyone.

But the box needs to be opened today. I hope the cat is alive.

Let us brace ourselves to face the truth based on our decision. Decision to remove all doubts.

(Aug '13 )

Memberi dan Mencuri

Saya  berterima kasih kepada orang asing yang suatu hari  bersedia turun dari taksi dan menyilahkan saya naik, padahal tempat tujuannya masih beberapa meter di depan. Bagi beberapa orang, hal tersebut bisa saja terlihat biasa dan tidak spesial. Tapi untuk orang yang tinggal di Jakarta dan tahu betapa susahnya mendapatkan taksi di jam-jam sibuk, mereka pun akan mengerti bahwa itu adalah pemberian yang besar.

Memberi di jalanan. Saya bukan membicarakan pemberian uang kepada pengemis di jalanan. Bukan. Tetapi, berbagi kesempatan,  berbagi jalanan kepada sesama pengguna jalan. Saya sangat percaya bahwa berhasil dan tidaknya pendidikan moral atau agama seseorang terlihat dari sikap orang tersebut di jalanan. Kita sejak SD selalu diajarkan untuk bertenggang rasa dan berbagi.  Sayangnya,  tenggang rasa dan berbagi di jalanan sepertinya sudah menjadi hal yang langka.

Coba hitung seberapa sering, saat di persimpangan tanpa lampu lalu lintas  kita secara rakus berebut jalanan?  Apalagi bus oranye itu, sering sekali tak  rela membagi jalan dan membiarkan kita lewat.

Jika mereka merasa memberi kesempatan orang lewat di jalanan adakan suatu kemewahan yang dimiliki orang yang punya banyak waktu, maka saya berharap lebih untuk mereka tidak mencuri.

Tidak tetap melaju pada saat lampu merah. Karena itu berarti mencuri waktu mereka yang sedang di jalur lampu hijau. Tidak berhenti di zebra cross pada saat lampu merah. Karena itu berarti mencuri tempat pejalan kaki untuk menyebrang. Tidak mencuri antrian di busway. Tidak menggunakan trotoar saat menggunakan kendaraan bermotor.

Apakah orang lupa, mencuri itu termasuk dosa besar di semua agama langit? Begitu pula  agama bumi, mencuri berarti melanggar sila atau etika beragama. Bagaimana bisa, kita mengaku beragama tapi berbuat seperti itu di jalanan?

Lalu kita yang malas memberi dan gemar mencuri di jalanan ini kemudian mencaci maki koruptor. Koruptor yang melakukan hal yang sama persis hanya berbeda tempat dan mediannya.

(Aug '13)

Turn on the AirCon, please!

I'm always interested in Ramadhan (the month of fasting for all muslims) and how people react to it. Living in a country where muslim is the majority gives me enough "shows" to enjoy. With only few days more before the fasting started, I heard a quite interesting news (not new though) about regulation in Bandung that authorities will make for month of Ramadhan: they will forbid women to wear short skirt during the month. Their argument is that it will disrupt people who are fasting from keeping their eyes and mind holly during fasting.

Fasting is all about controlling your mind and desires. So, the regulation is like saying "I will train my body to adapt to heat. Somebody, turn the aircon on please!!!" It is not called a training if you don't train anything.

Do not get me wrong and think that I disagree with hijab. I do support it as it helps women to protect themselves and remind them to be humble. Yet, I do believe that it is not something that authorities can force, especially because we are not Islam country and there are many non-muslim women who will need to follow the regulation.

Instead of forbidding short skirt, I suggest authorities and parents to encourage people to watch their behavior instead of what they are wearing. And enforce the law for sexual harassment cases.

For ladies in short skirt, just like any other things we do in life, you should be ready to take all the consequences that comes with it. So think about the crowd and the occasion that you will be in. Please also remember that you are not those skinny models, so you should be extra careful to choose which skirt suits you. And you are the one who should respect yourself first before others can.

(July'13. Marhaban yaa Ramadhan, the month full of colorful stories)

Rakyat Menengah

22 Juni yang lalu, "rakyat" Jakarta merayakan HUT Jakarta yang media sebut sebagai pesta rakyat. Sayapun hanya gigit jari sembari iri melihat keramaian tersebut dari balik layar TV. Saya ingin sekali ikut merasakan kemeriahan "pesta" tersebut, toh sayapun rakyat. Tapi dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, apa-apa yang gratis di Jakarta itu berarti "berdesak-desakan dan keikhlasan untuk membiarkan diri kita dizholimi orang-orang tidak beradab". Ya, lebih parah dari antri Busway di Dukuh Atas lah.

Lalu saya mulai merasa keterasingan yang aneh. Terasing ramai-ramai. Terasing bersama-sama manusia kelas menengah lainnya. Saya terlalu malas untuk membiarkan diri saya berdesak-desakan tanpa ampun di pesta gratis rakyat. Tapi terlalu miskin untuk mendapatkan hiburan yang nyaman. Terlalu capek dan lelah dan takut dicopet untuk terus naik metromini. Tapi belum mampu punya kendaraan sendiri atau naik taksi pulang pergi tiap hari. Perut terlalu manja untuk warteg tujuh ribu. Mencret lah. Tipus lah. Mual-mual lah. Tapi makan di tempat bersih berarti jatah uang makan dipakai semua. Buat belanja, piye?

Kaum menengah. Kaum yang dianggap mampu, padahal mbak-mbak pramuniaga di mall-mall aja tahu kalau kita bukan orang mampu. Kaum menengah, mirip kayak remaja ababil, masih cari tempat. Mau ngorbanin gengsi dengan merasa miskin, atau maksain diri dengan merasa kaya?

Mestinya kaum menengah itu jumlahnya banyak. Jadi saya gak merasa kesepian. Tapi yang namanya area abu-abu, selalu gak keliatan jelas. Jadi saya gak tahu mana orang susah atau orang menengah yang kelihatan susah. Gak jelas juga mana orang beneran kaya atau orang menengah yang berusaha terlihat kaya.

Ah, yang jelas, gak semua orang menengah mengeluh kayak saya. Alhamdulillah.


(Jun'13, terinspirasi HUT Jakarta dan iklan 3)




Let Go

There is time when we hurt so much that we keep asking why things happened to us. This is when life betrayed us, when people didn't respect our trust.

Why would they do that?

We can never really get a satisfied answer. Even the correct answers will not be satisfying. Disappointment  prevents us to understand things.

There are two things we can do. We can let them hurt us more and take over the rest of our life by keeping the anger. Or we can let whatever happened to go, take necessary actions which follow the law (if law has something to do with it) and then live the life like we used to.

I prefer the latter. I won't let them take away my happiness too. It is hard to forgive, no question about it. But it is harder to live with anger. Anger kills us slowly.

(May'13. God, give us strength )

Writers

A friend of mine once said that we are shaped by experiences we had. I cannot agree more with that. Talking about experience, it bothered me lately how experiences are actually gained. They are built based on what we see, hear, smell, feel and  do in everyday life.  But, it is interesting to  notice that we can also experience things from good movies or good writings as real as it is in reality.

Good writers are almost God. They created realities and shape you therefore shape your destinies.

(May '13)

Orang Pintar

Di Indonesia , orang-orang bersemangat sekali untuk maju, jeli melihat peluang untuk selangkah lebih depan.  Sangat termotivasi sampai-sampai mengambil resiko untuk mengorbankan nyawa sendiri. Sayangnya, itu dilakukan di jalan raya,  bukan di bangku sekolah (dan kementrian pendidikan).

(Apr'13 - lagi denger berita UN di macetnya Jakarta)

Jalanan Jakarta

Jakarta sepertinya tidak pernah membiarkan warganya untuk tidak sekali saja mengeluh di jalanan. Tapi apa yang baru tentang macet dan pelanggaran di jalan raya? Tidak ada. Kecuali satu hal yang saya alami pagi ini. Saat menunggu untuk menyebrang jalan di perempatan Kuningan Timur, seperti biasa beberapa pejalan kaki menyebrang sembarangan meskipun lampu masih berwarna hijau untuk pengguna kendaraan bermotor. Awalnya saya merasa khawatir dan gregetan tapi lama kelamaan saya pun bisa mengabaikan tindakan bodoh mereka. Namun pagi ini ada yang berbeda, seorang penjual koran dengan baju lusuh memperingatkan pejalan kaki bahwa lampu masih hijau dan mereka masih belum bisa menyebrang jalan. Tukang asongan koran itu berdiri di dekat Pak Polisi yang pura-pura (atau mungkin terlalu cape sehingga) tidak melihat "penyebrang liar" tersebut.

Mungkin sebetulnya setiap orang secara individu tidak benar-benar ingin melanggar perarturan lalu lontas. Bisa saja karena situasi dan keadaan membuat pelanggaran di jalan raya sebagai pilihan. Teman kos saya dulunya sering menggunakan sepeda motor di kampung, Jawa Tengah. Saat dia membeli motor dan menggunakannya di jalanan Jakarta, baru hari pertama saja dia sudah stress. "Gila, di Jakarta bawa motor gak boleh pelan. Diklaksonin sama motor belakang".

Melihat apa yang dilakukan tukang asongan koran tadi pagi dan juga kenyatan bahwa teman saya sang pesepeda motor, membuat saya berpikir tentang dua hal. Pertama, sikap tidakpedulian dan itu-urusan-polisi/pemerintah berarti membiarkan pelanggaran-pelanggaran di jalan terjadi. Kita sebaiknya mulai peduli, dimulai dari hal kecil seperti memulai kebiasaan untuk mematuhi rambu di jalan atau menggunakan sabuk pengaman, kemudian mengingatkan orang yang melanggar yang kita temui di jalan. Kedua, semua orang pada dasarnya ingin keteraturan namun pelanggaran oleh sebagian kecil orang membuat pelanggaran menjadi  sikap kolektif.

Saya masih akan terus percaya bahwa ada pengguna sepeda motor bebek yang tidak ingin menyalip dari kiri atau memotong jalan seenaknya, masih banyak pengguna Avanza/Xenia atau Fortuner yang mau mematuhi rambu lalu lintas, masih ada pejalan kaki di Kuningan yang cukup pintar untuk tahu kapan menyebrang. Saya masih akan terus percaya orang-orang di Jakarta akan menyadari bahwa mematuhi rambu lalu lintas sesungguhnya untuk kebaikan mereka sendiri.

(Feb'13 - Faith in humanity restored)

Love

Picture from www.clker.com

First, love keeps you strong then you need to be strong to keep love.


(Feb'13)

Smart

Smarter people are the one who google things earlier than you. :D

(Jan'13)

About me

Foto Saya
Cie
- writes everything coming to her mind - loves sleeping - wants to own a library - hates routine - loves the pleasure of discovery
Lihat profil lengkapku

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

People Read the Blog

Visitor

hit counter