All That the Nature Shows Me

This is all about what the nature teaches me, through people, nature itself or consciousness.

I Don't Want to Eat!

When I was a kid and just like many other kids, I didn't like to eat. Meal time was not something I love. It was more like obligation I had to do for parents instead of fulfilling my own need. I did not realize that I need to eat until few years later when I was big enough. Nobody told me when to eat anymore. Then only, I knew I had to eat.

Similar things happen in  a lot of other things later in my life. When you have to convince someone to do something for her/his own good but she/he is reluctant and acts like we are the one who needs it, not otherwise. But you know that you have to keep insisting simply because you care of them. It can be an easy thing to do yet it can be so difficult that you wish you could just be an ignorant person. Life has its own funny way to teach us by giving different roles to play.

I should be able to laugh  and play along, sometimes as a stubborn child and the other times as a loving parent. Only, I wish I could become more patient.

(Oct'14)



Suara untuk Damai

Saya tidak tahu seberapa berpengaruh catatan saya ini terhadap 'panasnya' suasana menjelang Pemilu. Tapi saya sudah cukup gerah untuk diam dan tidak bersura.

Mengenai maraknya partisipasi kawan-kawan saya dalam menyumbangkan ide, men-share artikel dan berargumen mengenai siapa capres yang terbaik; di satu sisi mungkin ini pertanda bagus, di mana keterlibatan kita sebagai warga negara dalam kehidupan berdemokrasi ini semakin tinggi. Di sisi lain, saya khawatir semangat yang menggebu-gebu ini hanya jadi fanatisme buta, seperti (sebagian) para pendukung sepak bola. Padahal Pemilu ini tidak seperti sepak bola, karena jika di dalam sepak bola pemenang keluar setelah pertandingan, setelah itu selesai. Tapi dalam Pemilu presiden ini, siapapun pemenangnya perlu kita terima, kita dukung sambil tetap kita kritisi selama 5 tahun ke depan. 5 tahun bukan piala satu musim.

Saya selalu menghindar berbicara langsung siapa yang saya dukung, karena khawatir akan memicu konflik yang tidak perlu. Saya hanya berbicara mengenai pilihan saya pada orang yang mau mendengar. Karena berbicara kepada orang yang fanatik dan 'belum mau mendengar' hampir sama seperti perbuatan sia-sia. Tapi saya merasa gerah dan tidak nyaman dengan keadaan yang semakin memanas ini, saya benar-benar ingin mengajak setidaknya teman-teman yang bisa membaca tulisan ini agar kita kembali menyadari tujuan dari Pemilu ini. Kita akan memilih seorang pemimpin negeri ini. Dia bukan Dewa yang akan menentukan dengan mutlak kebahagiaan hidup kita yang bisa dengan keajaibannya merubah keadaan kita jauh lebih baik. Untuk itu mari kita gantungkan harapan sewajarnya dan bersiap untuk kecewa. Karena dia hanya manusia biasa. Sesiap apa kita untuk kecewa? Itulah yang perlu kita pertimbangkan.

Kita bukan Tuhan yang bisa melilhat masa depan sehingga tidak ada jaminan pasti calon yang kita pilih akan sehebat apa, akan seburuk apa. Dan karena setiap orang memiliki pengalaman hidup yang berbeda, lingkungan yang berbeda maka wajar jika memiliki pandangan yang berbeda pula dalam menilai calon yang pas. Jika saya lebih menyukai pemimpin yang menjamin kebebasan dan keberagaman, yang berfokus pada implementasi dan kerja, yang tidak menggunakan jargon-jargon canggih tetapi ide-ide sederhana yang praktis, yang mengajak bersama-sama untuk bekerja. Sebagian yang lain mungkin menginginkan sosok yang lebih otoriter, yang ditakuti, yang mampu membakar semangat dalam orasi. Bagaimanapun pertimbangan kita dalam memilih, yang perlu kita ingat adalah orang yang memilih pililhan berbeda adalah saudara sebangsa kita. Jangan sampai perseteruan antar-sahabat, antar-saudara, antar-pasangan yang muncul selama kampanye kemarin diteruskan setelah Pemilu selesai.

Semoga tidak ada yang menghalalkan segala cara untuk menang dengan cara-cara yang tidak pantas pada Pemilu nanti. Dan siapapun yang menang, semoga karena Pemilu yang adil. Mari memenangkan calon kita masing-masing dengan cara yang baik karena dia memiliki kualitas yang memantaskannya bukan dengan segala cara yang didasarkan ketakutan, kebencian atau kecurigaan atas lawannya.

Berdoa untuk pemilu damai.

(Jul'14)

Giving Birth to Myself

Education, life experiences and interest in meditation made me believed that when I face problems in life the best way to react to them is to define what the problems are, assess whether they require quick response or not, identify what the possible solutions are and find the best way to express my reaction. However, I also agree that some events require our 'reptile' instinct to react especially if it is related to our defense mechanism. Facing threats for example.

I am not a brain expert hence I cannot really explain what brain has to do with our reaction towards some event and why it differs from one event to another. There are a lot of references explaining that some part of your brain forms judgment and control impulses and emotion; while the other part is more instinctive and helps you survive. I’m simply not the right person to explain this, you can find yourself useful information on net. My point is regardless of how (unconsciously) my brain picks me my reaction, I always try to be conscious of my doing.

I like the idea that I am in control of myself. For example, when random people on the street did a stupid thing which annoyed me, I tried to control myself and find the best way to show my anger. But sometimes, things go fast without me being able to digest the situation first and I gave unpleasant reaction. For example, when my ego was hurt because my partner unintentionally said something. A few minutes later, I would try to put myself together and try to understand what just happened. I rationalized my doings and tried to understand things from his point of view. After that, I would decide how to make things up if I eventually was the 'wrong' one. This is a tiring exercise I must admit, but I love the feeling that I know myself. Somehow, I believe it is an achievement I make when growing up.

It was all fine and went well until another event happened in my life. I am blessed by having a chance to get pregnant. It's a whole new experience to me. I've never been so exhausted that I can stop anywhere and take a nap or been so overwhelmed by joy that I cried happily only by looking at a little creature kicking inside my womb when having an ultrasound.

The most important thing that changed is I feel like I have no control over my body and thought; and my body controls me instead. Whenever I'm hungry, I must eat. I no longer can talk to myself that I need to finish some works first before eating. Because the moment I try to delay it, my body will have its own way to show its anger: nausea and dizziness which last the whole day. When I feel I want to eat salty food, its urge is unstoppable. I used to have similar craving but instead of rushing to get what I wanted, I would try to find out what actually my body needs. Does it actually need calcium (I noticed after looking up the net), or do I just get bored so I need some snacks? But the urge during pregnancy can go wild and the best way to handle it is to trust my intuition. I now will just let my body tells me what to do then do that. I don't 'fight' with myself anymore. Even though it feels like I become a primitive being, I enjoy it.


Then I noticed something interesting. When I do all things my body told me to and listen to my intuition, I can become two different persons at the same time: the doer and the watcher. I can be someone who is waking up at 2 am for third dinner and someone who is smiling and watching a mommy having her third dinner. I know it's weird, yet I'm grateful of being able to experience this. After all, maybe I have to admit that I've never been in control of myself and the thought that I did have control was only illusion. And this time, I become a new 'me' by experiencing the doer, the watcher or both at the same time.

(Jun'14)

Bukan Bawang Merah Bawang Putih

Ada beberapa alasan kenapa saya tidak suka sinetron, salah satunya adalah karena biasanya tokoh protagonis adalah tokoh baik yang terus menerus tertindas dan tokoh antagonisnya luar biasa jahat dan sangat berdedikasi untuk menindas protagonis. Selain karena membosankan melihat plot hitam putih yang sama, saya pun khawatir cara pandang seperti itu mempengaruhi saya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Jika saya melihat dunia dengan cara seperti itu maka jika ada dua opsi di depan mata, saya akan menganggap yang satu sebagai hal/orang yang super baik sedangkan yang lain super jahat. Mengapa hal ini berbahaya? Karena dengan berprasangka seperti itu, saya bisa saja tidak melihat atau tidak (mau) mengakui cela sang protagonis dan tidak (mau) melihat kebaikan yang ada pada sang antagonis. Sehingga kita menutup diri dari membuat keputusan yang lebih bijak.

Selain itu cara pandang seperti itu pun tidak selalu relevan digunakan, karena sering pula opsi-opsi yang ada bukan benar dan salah dengan harga mati. Jika pada siang hari yang terik saya diberi pilihan es campur atau es podeng, apakah salah satunya harus benar dan yang lain salah? Yang perlu saya lakukan adalah melakukan pertimbangan mana yang paling cocok untuk saya siang itu. Ya, pada satu titik saya akan lebih memilih yang satu daripada yang lain. Tapi bukan karena yang tidak dipilih itu adalah selalu salah. Hanya saja yang satu lebih cocok untuk saya pada saat itu daripada yang lain.

Begitu pula dengan opsi lain yang membutuhkan pertimbangan yang lebih jauh dan matang seperti calon presiden. Saya sedih melihat orang ramai-ramai menuhankan yang satu dan mencaci-maki yang lain. Dan yang lebih menyedihkan adalah saya justru lebih banyak melihat dan mendengar caci maki dan jatuh menjatuhkan dibandingkan informasi mengenai prestasi mereka. Mungkin mencaci maki membuat orang-orang tersebut merasa lebih baik dengan diri mereka sendiri; dan dengan merasa berada di pihak yang satu-satunya benar membuat mereka merasa berguna. Tetapi, kedua tokoh itu bukan bawang merah dan bawang putih. Keduanya tidak melulu baik dan sempurna. Keduanya tidak melulu berdosa.

Saya percaya, tidak semua dari kita adalah penonton sinetron bertema hitam putih. Untuk itu mari mulai membandingkan mereka dengan memasukkan ke dalam konteks yang tepat kemudian melakukan pembandingan dengan parameter yang sesuai. Untuk membandingkan es campur dan es podeng untuk dimakan di siang hari yang terik, saya akan memertimbangkan bahan yang digunakan, kesegarannya untuk dimakan hari itu, apakah saya sudah bosan dengan salah satunya, dan lain sebagainya. Sangat tidak relevan jika saya memasukkan isu perselingkuhan tukang es campur atau riwayat keturunan tukang es podeng. Terutama jika isu itu sama sekali tidak mempengaruhi es yang mereka buat. Bukan?

(Juni '14. Pray for peaceful election)



Matahari Andi


Matahari sudah sejam lalu tenggelam, padahal hari ini Andi pulang cepat. Pikirannya melompat dari satu kenangan ke kenangan lain, mencari kenangan terakhir saat ia bisa melihat matahari dengan mudah. Saat ia bisa merasakan hangatnya matahari memeluk punggungnya. Rupanya sudah sangat lama ia tidak melihat dan merasakan matahari selain dari jendela kantornya. Ketika berangkat kerja, matahari masih belum muncul; ketika pulang, matahari sudah terbenam. Akhir pekanpun lebih banyak dihabiskannya di sofa depan TV dengan supply makanan pesan-antar.

Ia tidak pernah merasa ada yang salah dengan hal tersebut. Lagipula jika sesuatu salah tetapi tidak merugikan siapapun, apakah tetap perlu label salah? Ataukah setiap yang salah pasti merugikan sesuatu atau seseorang? Entahlah. Ia tidak pernah peduli dan tidak mau peduli, kecuali hari ini. Hari ini ia seperti dibangunkan dari tidur panjang tanpa mimpi. Tidak mengecewakan karena bukan mimpi indah yang terakhiri. Tidak pula melegakan karena bukan mimpi buruk yang dialaminya. Ia terbangun dari tidur tanpa mimpi. Tanpa rasa hanya ada asa. Asa untuk berkenalan kembali dengan matahari.

***

Di dalam bus Transjakarta yang padat dan pengap, pikirannya kembali mencari-cari kenangan dengan matahari. Tiba-tiba, ia bisa merasakan hangatnya sinar matahari di punggung, sepoinya angin dan pekatnya wangi air laut. Ia menemukan satu kenangannya bersama matahari. Saat itu hari menjelang sore, matahari sudah tidak menyengat. Cahayanya lebih ramah dan dengan kehangatannya memeluk lembut pantai tempat ia duduk bersama teman-temannya.

Meja dan kursi kayu yang dibalut dengan kain batik tersusun dengan rapi di sepanjang pesisir pantai di bawah pohon-pohon rindang. Sesekali gelak tawa terdengar dari meja sekitarnya. Adapula pasangan yang menikmati sore dengan khidmat. Ia dan teman-temannya memiliki cara sendiri untuk menikmati sore: makan. Makan adalah salah satu dari sedikit kesamaaan yang mereka miliki. Tetapi mungkin itu pula yang membuat pertemanan mereka bertahan selama 10 tahun. Di pesisir pantai di sebuah restoran di Bay Bali, ia merasakan kehangatan matahari dan kehangatan bersama teman-temannya.

Lamunannya buyar. Hangat di punggungnya hilang dan tergantikan gerah yang amat sangat yang selalu ia alami setiap kali menggunakan bus menuju rumahnya. Suara petugas Busway yang mengingatkan halte tempat ia harus turun membuyarkan lamunannya. Sedikit kesal ia bergegas keluar.

Seperti menemukan kembali mainan kesayangan sehingga tak sabar untuk mulai memainkannya. Begitu pula ia mendapati kenangannya mengenai matahari. Ia tak sabar untuk memutar kembali kenangannya. Kenangan yang membuatnya merasa hangat dan merasa hidup. Seketika itu pula, keseharian yang ia lalui bagai seorang zombie menjadi terasa dingin. Ia rindu matahari. Ia rindu teman-temannya

***

Beep...beep...beep
Ponsel pintarnya berdering saat teman-temannya menjawab pesan-pesannya.
Bay Bali lagi yuk. 1-4 Mei, hari kejepit jadi cuma cuti sehari.” ujarnya di messaging group.
sorry ndi, udah kburu janji ama anak gue. next time yee”
Ok Lan. Have fun w/ ur family”

Pengen banget bro, tapi gua gak bisa cuti tanggal 2. Ada event penting di kantor.”
No worries bro.”

Adenya lina tunangan. Gua gak mungkin berangkat kecuali mau bikin perang.”
Gak apa Nang. Say hi buat Lina sama Sinta ya. Semoga lancar”

Ia menunggu respon dari dua orang temannya yang lain. Namun hingga ia beranjak tidur, mereka tidak menjawab pesannya sama sekali.

***
Ia masih ragu, apakah ia akan mengambil cuti atau tidak. Sudah 5 tahun, ia tenggelam dengan kesibukannya dan tidak pernah merasa perlu mengambil cuti. Meskipun sakit, selama masih bisa bangun dari kasur, ia akan tetap berangkat ke kantor. Karena ia tidak tahu apalagi yang dapat ia lakukan selain bekerja.

Namun desakan keinginan untuk menemukan kembali matahari mendorongnya untuk pergi berlibur. Ke pinggir pantai yang sama, saat terakhir kali ia bercengkrama dengan matahari.

Akhirnya kamu ambil cuti juga. Saya tidak tahu kalau kamu punya kehidupan lain.” ujar atasannya.
Saya juga tidak tahu Pak.”

Ia lupa kapan terakhir kalinya mengambil keputusan impulsif seperti itu. Hanya karena kemarin sore, di Busway. Ketika ia terjaga dari auto-pilot badannya dalam menjalani rutinitas. Ia heran melihat 5 tahun berlalu tanpa ia sadari, tanpa memori berkesan yang mewarnai jalan hidupnya, tanpa pengalaman baru yang dapat ia ceritakan ulang di masa depan.

***
Di sebuah restoran di Bay Bali. Ia duduk di kursi kayu berbalut kain batik. Ditemani bir dingin dan calamari and chips di atas meja kayu. Tanpa kelima temannya yang 5 tahun lalu ada di situ. Ia berkenalan kembali dengan matahari. Ia berkenalan kembali dengan dirinya sendiri.

Hanya saja ada sesuatu yang mengganjal. Ia merindukan sesuatu yang selama ini telah setia menemani hidupnya. Ketika teman-temannya sudah berkeluarga dan memiliki kesibukannya sendiri. Ia ingat bahwa pekerjaan adalah temannya. Pekerjaan adalah passionnya. Pekerjaan adalah kebahagiannya. Hanya saja rutinitas menutupinya dengan rasa jenuh.

Ia tersenyum. Seperti halnya cahaya matahari, kebahagiaannya selama ini dekat, hanya saja ia tidak sadar. Dan kini di pinggir pantai itu, ia menyadarinya.


(April'14)
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The BayBali & Get discovered!

Orang Kecil, Lalu?

Sekelompok anak kecil kampung yang bergaya sok preman berlarian di trotoar depan Gelora Bung Karno sore tadi. Salah satu dari mereka lalu melempar bola ke tempat sampah di trotoar dengan cukup keras hingga tutupnya lepas dan jatuh. Tanpa merasa bersalah ia pergi dan membiarkan tempat sampah tadi. Salah seorang temannya mengingatkan, tetapi anak ingusan tersebut menghardik ala preman tanpa merasa bersalah sudah merusak fasilitas umum. Dengan sengaja, tanpa tujuan yang jelas, tanpa keuntungan apapun baginya. Kemudian mereka semua berlarian menyebrang jalan sudirman yang selalu sibuk. Menyebrang bukan lewat jembatan penyebrangan.

Itulah pemandangan sore tadi selagi saya menunggu bus untuk pulang dari kantor. Di tengah hingar bingar janji partai untuk "membela orang kecil", pemandangan tadi sangat mengganggu. Apakah yang harus kita bela itu orang kecil?

Saya orang kecil dan dari kampung, apakah saya selalu harus dibela? Apakah saya selalu benar? Belum tentu!

Melanjutkan cerita tadi, saat melewati perempatan Jl. Surabaya ada sekolompok remaja yang ceritanya membantu mengatur lalu lintas. Tapi yang saya lihat hanya sekelompok remaja yang memalak setiap mobil dan bus yang lewat. Karena jika kita tidak memberikan uang, bisa jadi kendaraan kita dipukul atau ditendang atau juga tidak dibiarkan lewat.

Jika saat masih orang kecil mereka malak 2ribu rupiah, maka jika ia jadi orang besar bisa jadi dia malak 200ribu dolar ke orang Migas kan?

Bejatnya orang besar yang membeli hukum dengan uang di pengadilan sama bejatnya dengan aturan orang yang lebih kecil selalu menang di jalanan. Moralitas itu mengenai baik dan buruk. Bukan orang besar atau orang kecil. Bukan karena kamu orang kecil maka kamu selalu benar. Tidak juga sebaliknya.

Mari berhenti bersembunyi dibalik kedok orang kecil sebagai pembenaran semua kejahatan kita.

(Feb'14)

About me

Foto Saya
Cie
- writes everything coming to her mind - loves sleeping - wants to own a library - hates routine - loves the pleasure of discovery
Lihat profil lengkapku

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

People Read the Blog

Visitor

hit counter