All That the Nature Shows Me

This is all about what the nature teaches me, through people, nature itself or consciousness.

Nenek Pencuri Kayu

Meskipun ujung-ujungnya kesal setiap kali melihat berita, saya tetap saja selalu tergoda untuk menonton berita di TV. Kali ini salah satu berita yang sedang dibesar-besarkan adalah nenek pencuri kayu. Saya terenyuh melihat tayangan ketika nenek itu menangis di persidangan tapi saya terganggu dengan cara media mengarahkan opini terhadap berita tersebut. Seperti kurang drama, salah satu stasiun TVpun membahas kasus-kasus lansia yang dihukum "tidak adil" karena dutuduh melakukan tindakan pencurian "kecil".

Media membentuk opini bahwa nenek dan kakek tua renta yang melakukan pencurian kecil seharusnya tidak dihukum seperti itu, kemudian (tentu saja) dibandingkan dengan kasus korupsi besar. Yang saya tidak suka adalah mereka menekankan pada pelaku yang sudah tua renta dan kuantitas pencurian yang dianggap kecil: 7 batang kayu, 1 pelepah pisang, 3 butir buah cokelat. Lantas jika ada lansia berusia 98 tahun yang melakukan korupsi atau pembunuhan maka kita harus memberikan toleransi? Lalu jika saya dengan sengaja melukai orang dengan silet, karena luka yang ditimbulkan hanya kecil maka saya tidak perlu dihukum?

Sudah waktunya kita bedakan kapan menggunakan toleransi yang benar. Jika ingin membela nenek pencuri 7 batang kayu, jangan karena beliau sudah tua atau karena jumlah yang dicuri kecil, tapi karena memang beliau tidak melakukan pencurian dan buktikan itu. Mencuri adalah mencuri siapapun pelakunya sebesar apapun yang diambil. Mencuri 7 batang kayu dengan 7 miliar uang harus kita sikapi sama, itu pencurian jika memang benar-benar terjadi. Karena jika kita terus menerus permisif dengan kuantitas, lama-kelamaan patokan ukuran kita akan menjadi bias. Semua dimulai dengan, "ah, gak apa-apa ambil untung proyek diem-diem 1 juta, kecil ini", suatu saat nanti 1 miliar pun akan terasa kecil dan segala macam pembenaran akan dipakai. Saya yakin pencurian besar dimulai dengan pencurian kecil-kecilan. 

Mari kita berpikir lebih maju daripada yang diajarkan TV kepada kita. Gunakan toleransi pada tempatnya. 

*Berhubungan juga dengan tulisan saya yang ini

(Mar'15)

Susan, Kalau Gede Mau Jadi Apa?

Banyaknya teman saya yang melahirkan dan hamil membuat ucapan "semoga anaknya jadi anak sholeh", "semoga jadi anak berguna" dan semoga-semoga yang lain sering sekali muncul di timeline. Sekilas memang tidak ada yang salah dan sepertinya orang juga mengucapkannya mengalir begitu saja. Seperti mengatakan semoga keluarganya Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah atau pertanyaan "kapan nikah, punya anak, punya adik". Semuanya terasa seperti formalitas.

Tidak ada yang salah dengan mendoakan dan mengharapkan seorang anak untuk menjadi seseorang yang baik. Hanya saja saya khawatir jika harapan-harapan tersebut justru hanya bentuk ketidakpuasan atas diri sendiri dan keinginan agar sang anak "membayar"nya. Siapa yang tidak merasa bangga mengatakan bahwa anaknya adalah orang terpintar di sekolahnya, dapat beasiswa ini, menang lomba itu, menjadi yang terbaik di bidang ini itu? Tentu mudah sekali untuk bangga kepada anak yang berprestasi.

Jauh sebelum anak saya lahir, saya sudah punya cita-cita untuk memasukkannya ke sekolah Montessori, membuat dia memilii koleksi buku yang banyak, masuk ke perguruan tinggi top, dan banyak lagi. Kalau dilihat lagi, itu semua obsesi yang tidak dapat saya lakukan sehingga saya ingin dia yang melakukannya. 

Apakah saya punya hak untuk membuat dia "membayar" semua "hutang" mimpi saya? Atau pertanyaan utamanya justru apakah saya punya hak terhadap hidup anak saya? Saya seringkali lupa jika dia tidak pernah benar-benar milik saya. Dia manusia yang merdeka seutuhnya dan saya hanya perantara dia untuk lahir ke dunia. Rasa sayang yang terlampau besar dan tidak saya kelola dengan cukup baik membuat saya sering sombong dan merasa bahwa dia anak saya sehingga saya boleh menentukan apakah dia akan menjadi ilmuwan atau pebisnis. Saya masih belum bisa membayangkan apakah saya siap jika pilihan hidupnya nanti akan bertentangan dengan apa yang saya harapkan dari dia. Bagaimana jika justru dia tidak ingin bersekolah di tempat ternama dan justru ingin menjadi pecinta alam yang menghabiskan banyak waktunya di gunung dibandingkan di rumah? Entahlah.

Saat ini saya melihat anak saya tidur dengan nyenyak dan harapan yang paling mendasar untuk diapun muncul: saya harap dia dapat menjadi orang yang bahagia dan dapat menemukan jalan kebahagiaan yang sebenar-benarnya. Semoga saya selalu tersadar.

(Mar'15)

About me

Foto Saya
Cie
- writes everything coming to her mind - loves sleeping - wants to own a library - hates routine - loves the pleasure of discovery
Lihat profil lengkapku

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

People Read the Blog

Visitor

hit counter