Sekelompok anak kecil kampung yang bergaya sok preman berlarian di trotoar depan Gelora Bung Karno sore tadi. Salah satu dari mereka lalu melempar bola ke tempat sampah di trotoar dengan cukup keras hingga tutupnya lepas dan jatuh. Tanpa merasa bersalah ia pergi dan membiarkan tempat sampah tadi. Salah seorang temannya mengingatkan, tetapi anak ingusan tersebut menghardik ala preman tanpa merasa bersalah sudah merusak fasilitas umum. Dengan sengaja, tanpa tujuan yang jelas, tanpa keuntungan apapun baginya. Kemudian mereka semua berlarian menyebrang jalan sudirman yang selalu sibuk. Menyebrang bukan lewat jembatan penyebrangan.
Itulah pemandangan sore tadi selagi saya menunggu bus untuk pulang dari kantor. Di tengah hingar bingar janji partai untuk "membela orang kecil", pemandangan tadi sangat mengganggu. Apakah yang harus kita bela itu orang kecil?
Saya orang kecil dan dari kampung, apakah saya selalu harus dibela? Apakah saya selalu benar? Belum tentu!
Melanjutkan cerita tadi, saat melewati perempatan Jl. Surabaya ada sekolompok remaja yang ceritanya membantu mengatur lalu lintas. Tapi yang saya lihat hanya sekelompok remaja yang memalak setiap mobil dan bus yang lewat. Karena jika kita tidak memberikan uang, bisa jadi kendaraan kita dipukul atau ditendang atau juga tidak dibiarkan lewat.
Jika saat masih orang kecil mereka malak 2ribu rupiah, maka jika ia jadi orang besar bisa jadi dia malak 200ribu dolar ke orang Migas kan?
Bejatnya orang besar yang membeli hukum dengan uang di pengadilan sama bejatnya dengan aturan orang yang lebih kecil selalu menang di jalanan. Moralitas itu mengenai baik dan buruk. Bukan orang besar atau orang kecil. Bukan karena kamu orang kecil maka kamu selalu benar. Tidak juga sebaliknya.
Mari berhenti bersembunyi dibalik kedok orang kecil sebagai pembenaran semua kejahatan kita.
(Feb'14)
0 komentar:
Posting Komentar