Macet hari Jumat malam kemarin tidak berhasil membuat saya datang terlambat ke Salihara untuk pertunjukan teater Lithuania. Drama kemacetan Jakarta sebenarnya sudah menjadi pembuka pertunjukan yang diadaptasi dari naskah penyair Inggris, Rupert Brooke, ini. Kemiskinan, kemapanan, kerakusan dan perasaan muak ditampilkan sedari saya duduk di Kopaja 20 hingga bangku penonton.
Mungkin tema kemiskinan vs kemapanan sudah bukan hal luar biasa lagi. Bahkan mungkin saja sudah membosankan untuk dibahas karena sudah menjadi kenyataan sehari-hati yang muak dipertanyakan. Itu pula mungkin yang membuat saya sedikit jenuh menikmati suguhan 70 menit tersebut. Bagaimanapun saya tetap angkat topi untuk tragedi yang diangkat.
Pada saat kemiskinan membelenggu dan kelaparan menjadi momok yang begitu menyeramkan, ketiga tokoh (ibu, ayah dan anak perempuan) kita inipun menjadi kehilangan akal. Apalagi saat orang asing yang menjadi tamu mereka malam itu menunjukkan betapa nikmatnya menjadi orang berkecukupan di kota.
Sekitar 80 persen dari pertunjukan saya harus menahan diri menyaksikan alur yang begitu lambat. Tapi di akhir, alur cerita menjadi cepat dan menegangkan hingga berujung tragedi. Laiknya kehidupan kita, semua berjalan lambat namun pada saat keputusan besar harus diambil, semua ketentraman diaduk-aduk dan kita tinggal menyaksikan bagaimana keputusan itu membawa kita ke tahap lain kehidupan. Dan saat keterpaksaan begitu mengikat, keputusan pun diambil dengan tergesa.
Lithuania. Tragedi keterpurukan.
(Jun'11. Mungkin "patience is a virtue" bisa menjadi salah satu pesan. Namun saat terlalu banyak berpikir dan diam bersabar, tak ada satu pun yang dikerjakan. Bukan?)
Mungkin tema kemiskinan vs kemapanan sudah bukan hal luar biasa lagi. Bahkan mungkin saja sudah membosankan untuk dibahas karena sudah menjadi kenyataan sehari-hati yang muak dipertanyakan. Itu pula mungkin yang membuat saya sedikit jenuh menikmati suguhan 70 menit tersebut. Bagaimanapun saya tetap angkat topi untuk tragedi yang diangkat.
Pada saat kemiskinan membelenggu dan kelaparan menjadi momok yang begitu menyeramkan, ketiga tokoh (ibu, ayah dan anak perempuan) kita inipun menjadi kehilangan akal. Apalagi saat orang asing yang menjadi tamu mereka malam itu menunjukkan betapa nikmatnya menjadi orang berkecukupan di kota.
Sekitar 80 persen dari pertunjukan saya harus menahan diri menyaksikan alur yang begitu lambat. Tapi di akhir, alur cerita menjadi cepat dan menegangkan hingga berujung tragedi. Laiknya kehidupan kita, semua berjalan lambat namun pada saat keputusan besar harus diambil, semua ketentraman diaduk-aduk dan kita tinggal menyaksikan bagaimana keputusan itu membawa kita ke tahap lain kehidupan. Dan saat keterpaksaan begitu mengikat, keputusan pun diambil dengan tergesa.
Lithuania. Tragedi keterpurukan.
(Jun'11. Mungkin "patience is a virtue" bisa menjadi salah satu pesan. Namun saat terlalu banyak berpikir dan diam bersabar, tak ada satu pun yang dikerjakan. Bukan?)
posted from Bloggeroid
2 komentar:
ah, saya gak tau cerita ini. tapi sepertinya bagus ya.
setuju sama kata-kata terakhirnya. kalau terlalu banyak berpikir dan diam bersabar, akhirnya tak ada satu pun yang dikerjakan.
:) iya bagus
Posting Komentar