Menyambut bulan puasa dan lebih
jauh lagi hari raya, saya merasa senang sekaligus was-was. Senang karena suasana
untuk beribadah lebih terasa dibanding bulan lainnya (meskipun semakin tahun
semakin pudar juga) dan ini adalah waktu yang tepat pula untuk refleksi diri. Melatih
diri untuk kembali memegang kontrol setelah sekian lama terbiasa dikontrol
nafsu, namun pada saat yang bersamaan merelakan dan menyadari bahwa kekuasaan
penuh adalah kontrol Tuhan.
Tapi rupanya puasa hanya
selebrasi setengah hari. Kesederhanaan dan kesabaran pagi hingga petang dibalas
dengan ketamakan malam hari. Begitu pula Hari Raya Idul Fitri. Kesucian diri
rusak oleh kebanggaan diri. Karena ini adalah hari pamer.
Hari pamer adalah penyebab semua
harga bahan pokok naik. Semua orang berpesta pora. Membeli makanan lebih dari
yang diperlukan. Hari pamer juga menuntut orang terlihat sukses pada saat
pulang kampung. Pamer anak, pamer istri, pamer kendaraan dan pamer-pamer yang
lain. Sepertinya dosa besar jika tidak bisa memenuhi standar minimum pamer
masyarakat.
Karena pamer adalah pamer dan
bukan tampil apa adanya, maka diperlukan usaha lebih untuk bisa pamer.
Diperlukan juga uang lebih untuk pamer. Jika pemasukan tetap saja dan uang THR
kurang, maka jangan heran jika di beberapa instansi ada uang ‘THR’ dari bawahan
ke atasan. Maka jangan heran banyak bawahan makin rajin ke jalan untuk cari
tambahan. Maka jangan heran pula, di tempat-tempat umum makin banyak terjadi
tindak kriminal. Sebagai anak kos, saya merasakan secara langsung imbas
kenaikan angka kriminalitas seperti pencurian.
Ego kita telah menjadi preman
untuk diri sendiri. Memeras diri sendiri. Tuhan pun kita telantarkan.
Marhaban ya preman…
(Aug'12)
1 komentar:
interesting!
Posting Komentar