Saya tidak tahu seberapa berpengaruh catatan saya ini terhadap 'panasnya' suasana menjelang Pemilu. Tapi saya sudah cukup gerah untuk diam dan tidak bersura.
Mengenai maraknya partisipasi kawan-kawan saya dalam menyumbangkan ide, men-share artikel dan berargumen mengenai siapa capres yang terbaik; di satu sisi mungkin ini pertanda bagus, di mana keterlibatan kita sebagai warga negara dalam kehidupan berdemokrasi ini semakin tinggi. Di sisi lain, saya khawatir semangat yang menggebu-gebu ini hanya jadi fanatisme buta, seperti (sebagian) para pendukung sepak bola. Padahal Pemilu ini tidak seperti sepak bola, karena jika di dalam sepak bola pemenang keluar setelah pertandingan, setelah itu selesai. Tapi dalam Pemilu presiden ini, siapapun pemenangnya perlu kita terima, kita dukung sambil tetap kita kritisi selama 5 tahun ke depan. 5 tahun bukan piala satu musim.
Saya selalu menghindar berbicara langsung siapa yang saya dukung, karena khawatir akan memicu konflik yang tidak perlu. Saya hanya berbicara mengenai pilihan saya pada orang yang mau mendengar. Karena berbicara kepada orang yang fanatik dan 'belum mau mendengar' hampir sama seperti perbuatan sia-sia. Tapi saya merasa gerah dan tidak nyaman dengan keadaan yang semakin memanas ini, saya benar-benar ingin mengajak setidaknya teman-teman yang bisa membaca tulisan ini agar kita kembali menyadari tujuan dari Pemilu ini. Kita akan memilih seorang pemimpin negeri ini. Dia bukan Dewa yang akan menentukan dengan mutlak kebahagiaan hidup kita yang bisa dengan keajaibannya merubah keadaan kita jauh lebih baik. Untuk itu mari kita gantungkan harapan sewajarnya dan bersiap untuk kecewa. Karena dia hanya manusia biasa. Sesiap apa kita untuk kecewa? Itulah yang perlu kita pertimbangkan.
Kita bukan Tuhan yang bisa melilhat masa depan sehingga tidak ada jaminan pasti calon yang kita pilih akan sehebat apa, akan seburuk apa. Dan karena setiap orang memiliki pengalaman hidup yang berbeda, lingkungan yang berbeda maka wajar jika memiliki pandangan yang berbeda pula dalam menilai calon yang pas. Jika saya lebih menyukai pemimpin yang menjamin kebebasan dan keberagaman, yang berfokus pada implementasi dan kerja, yang tidak menggunakan jargon-jargon canggih tetapi ide-ide sederhana yang praktis, yang mengajak bersama-sama untuk bekerja. Sebagian yang lain mungkin menginginkan sosok yang lebih otoriter, yang ditakuti, yang mampu membakar semangat dalam orasi. Bagaimanapun pertimbangan kita dalam memilih, yang perlu kita ingat adalah orang yang memilih pililhan berbeda adalah saudara sebangsa kita. Jangan sampai perseteruan antar-sahabat, antar-saudara, antar-pasangan yang muncul selama kampanye kemarin diteruskan setelah Pemilu selesai.
Semoga tidak ada yang menghalalkan segala cara untuk menang dengan cara-cara yang tidak pantas pada Pemilu nanti. Dan siapapun yang menang, semoga karena Pemilu yang adil. Mari memenangkan calon kita masing-masing dengan cara yang baik karena dia memiliki kualitas yang memantaskannya bukan dengan segala cara yang didasarkan ketakutan, kebencian atau kecurigaan atas lawannya.
Berdoa untuk pemilu damai.
(Jul'14)
Mengenai maraknya partisipasi kawan-kawan saya dalam menyumbangkan ide, men-share artikel dan berargumen mengenai siapa capres yang terbaik; di satu sisi mungkin ini pertanda bagus, di mana keterlibatan kita sebagai warga negara dalam kehidupan berdemokrasi ini semakin tinggi. Di sisi lain, saya khawatir semangat yang menggebu-gebu ini hanya jadi fanatisme buta, seperti (sebagian) para pendukung sepak bola. Padahal Pemilu ini tidak seperti sepak bola, karena jika di dalam sepak bola pemenang keluar setelah pertandingan, setelah itu selesai. Tapi dalam Pemilu presiden ini, siapapun pemenangnya perlu kita terima, kita dukung sambil tetap kita kritisi selama 5 tahun ke depan. 5 tahun bukan piala satu musim.
Saya selalu menghindar berbicara langsung siapa yang saya dukung, karena khawatir akan memicu konflik yang tidak perlu. Saya hanya berbicara mengenai pilihan saya pada orang yang mau mendengar. Karena berbicara kepada orang yang fanatik dan 'belum mau mendengar' hampir sama seperti perbuatan sia-sia. Tapi saya merasa gerah dan tidak nyaman dengan keadaan yang semakin memanas ini, saya benar-benar ingin mengajak setidaknya teman-teman yang bisa membaca tulisan ini agar kita kembali menyadari tujuan dari Pemilu ini. Kita akan memilih seorang pemimpin negeri ini. Dia bukan Dewa yang akan menentukan dengan mutlak kebahagiaan hidup kita yang bisa dengan keajaibannya merubah keadaan kita jauh lebih baik. Untuk itu mari kita gantungkan harapan sewajarnya dan bersiap untuk kecewa. Karena dia hanya manusia biasa. Sesiap apa kita untuk kecewa? Itulah yang perlu kita pertimbangkan.
Kita bukan Tuhan yang bisa melilhat masa depan sehingga tidak ada jaminan pasti calon yang kita pilih akan sehebat apa, akan seburuk apa. Dan karena setiap orang memiliki pengalaman hidup yang berbeda, lingkungan yang berbeda maka wajar jika memiliki pandangan yang berbeda pula dalam menilai calon yang pas. Jika saya lebih menyukai pemimpin yang menjamin kebebasan dan keberagaman, yang berfokus pada implementasi dan kerja, yang tidak menggunakan jargon-jargon canggih tetapi ide-ide sederhana yang praktis, yang mengajak bersama-sama untuk bekerja. Sebagian yang lain mungkin menginginkan sosok yang lebih otoriter, yang ditakuti, yang mampu membakar semangat dalam orasi. Bagaimanapun pertimbangan kita dalam memilih, yang perlu kita ingat adalah orang yang memilih pililhan berbeda adalah saudara sebangsa kita. Jangan sampai perseteruan antar-sahabat, antar-saudara, antar-pasangan yang muncul selama kampanye kemarin diteruskan setelah Pemilu selesai.
Semoga tidak ada yang menghalalkan segala cara untuk menang dengan cara-cara yang tidak pantas pada Pemilu nanti. Dan siapapun yang menang, semoga karena Pemilu yang adil. Mari memenangkan calon kita masing-masing dengan cara yang baik karena dia memiliki kualitas yang memantaskannya bukan dengan segala cara yang didasarkan ketakutan, kebencian atau kecurigaan atas lawannya.
Berdoa untuk pemilu damai.
(Jul'14)
0 komentar:
Posting Komentar