Saya berterima kasih kepada orang asing yang suatu hari bersedia turun dari taksi dan menyilahkan saya naik, padahal tempat tujuannya masih beberapa meter di depan. Bagi beberapa orang, hal tersebut bisa saja terlihat biasa dan tidak spesial. Tapi untuk orang yang tinggal di Jakarta dan tahu betapa susahnya mendapatkan taksi di jam-jam sibuk, mereka pun akan mengerti bahwa itu adalah pemberian yang besar.
Memberi di jalanan. Saya bukan membicarakan pemberian uang kepada pengemis di jalanan. Bukan. Tetapi, berbagi kesempatan, berbagi jalanan kepada sesama pengguna jalan. Saya sangat percaya bahwa berhasil dan tidaknya pendidikan moral atau agama seseorang terlihat dari sikap orang tersebut di jalanan. Kita sejak SD selalu diajarkan untuk bertenggang rasa dan berbagi. Sayangnya, tenggang rasa dan berbagi di jalanan sepertinya sudah menjadi hal yang langka.
Coba hitung seberapa sering, saat di persimpangan tanpa lampu lalu lintas kita secara rakus berebut jalanan? Apalagi bus oranye itu, sering sekali tak rela membagi jalan dan membiarkan kita lewat.
Jika mereka merasa memberi kesempatan orang lewat di jalanan adakan suatu kemewahan yang dimiliki orang yang punya banyak waktu, maka saya berharap lebih untuk mereka tidak mencuri.
Tidak tetap melaju pada saat lampu merah. Karena itu berarti mencuri waktu mereka yang sedang di jalur lampu hijau. Tidak berhenti di zebra cross pada saat lampu merah. Karena itu berarti mencuri tempat pejalan kaki untuk menyebrang. Tidak mencuri antrian di busway. Tidak menggunakan trotoar saat menggunakan kendaraan bermotor.
Apakah orang lupa, mencuri itu termasuk dosa besar di semua agama langit? Begitu pula agama bumi, mencuri berarti melanggar sila atau etika beragama. Bagaimana bisa, kita mengaku beragama tapi berbuat seperti itu di jalanan?
Lalu kita yang malas memberi dan gemar mencuri di jalanan ini kemudian mencaci maki koruptor. Koruptor yang melakukan hal yang sama persis hanya berbeda tempat dan mediannya.
(Aug '13)
0 komentar:
Posting Komentar