Kejadian siang tadi bikin "kegalauan" saya tentang sekolah yang cuma jadi tempat anak-anak menghapal muncul lagi. Jadi tadi siang pas saya sidang TA, untuk membuktikan kalau program yang saya buat asli bikinan sendiri, saya disuruh menulis syntax untuk membuat koneksi ke database dengan PHP lengkap dengan validasi macam-macamnya. Jujur aja, saya gak pernah hapal syntax. Apalagi udah lama banget saya gak coding. Buat apa toh hapal syntax kan ada Google dan kalau pake IDE kan tinggal ctrl+space terus muncul deh saran untuk melengkapi syntax kita. Dan emang dasar sayanya terlalu polos (baca:lemot), saya bilang aja kalau saya itu copy paste syntax dari Google untuk bagian itu tapi secara alur saya tahu step apa saja yang perlu dilakukan. Jawaban bodoh ya (gitu)? Kalau membicarakan algoritma atau alur nalar untuk pemecahan masalah mah, insya Allah saya bisa. Saya pikir, itu sudah cukup. Toh untuk merubah itu ke dalam code ada banyak cara dan tools. Tapi rupanya Sarjana Teknik itu harus hapal syntax juga.
Nggak cuma kali ini saya bertemu masalah dengan hapal menghapal. Percaya atau enggak, jaman sekolah itu saya benci sejarah. Karena terlalu banyak tanggal dan nama yang harus diingat. Sumpah, menghafal kata "falafel" aja makan waktu berbulan-bulan dan kadang masih jelimet, apalagi nama orang. Sejarah perjuangan Indonesia aja, saya baru ngeh dan mulai tertarik gara-gara Bumi Manusia-nya Ananta Toer. Gitu juga dengan Bahasa Indonesia. Saya nggak pernah tahu kalau menulis itu menyenangkan waktu saya masih sekolah. Kalau disuruh bikin karangan tentang liburan, pasti bikin "Berlibur ke Rumah Nenek" dengan dimulai "Pada liburan semester lalu" atau "Pada suatu hari". Bahasa Indonesia di sekolah itu buat saya waktunya menghapal majas-majas.
Kalau dulu ketika informasi masih serba terbatas, hafalan memang bisa banyak membantu dan handy. Tapi kalau di zaman sekarang ini, saat akses ke informasi gampang banget apa masih seperlu itu? Bukankah alih-alih membagikan informasi dan menyuruh anak-anak menghapal, sebaiknya justru sekolah mengajarkan cara memilah informasi dan memanfaatkan akses terhadap informasi itu untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari? Bukannya yang penting itu mengerti konsep dari materi yang akan diajarkan daripada rumus atau tanggal atau informasi lainnya yang dapat dengan mudah diakses di kehidupan nyata?
Saya pikir ujian itu sudah nggak perlu tutup buku, tapi ubah soal-soal ujian itu dengan pertanyaan yang bikin murid berpikir dan berpendapat. Buat soal yang jawabannya nggak bisa langsung didapatkan dari halaman di buku. Misalnya, jangan lagi buat pertanyaan tahun berapa perang Diponegoro. Tapi tanya apa dampak perang Diponegoro bagi rakyat pada masanya atau pada saat perang Diponegoro, ada event apa yang terjadi di dunia Internasional. Dengan soal seperti itu juga kalau ada murid yang saling contek jadi mudah ketauan kan? Harga yang harus dibayar ya guru lebih repot saat penilaian karena lembar jawaban isinya lebih beragam. Nggak ada satu-satunya jawaban yang benar. Karena seringkali di kehidupan sehari-hari pun, jawaban benar itu gak cuma satu kan?
Kapan ya sekolah bisa benar-benar jadi tempat belajar mengerti, bukan cuma tempat belajar menghapal.
*racauan pelupa*
(Feb'15)
Nggak cuma kali ini saya bertemu masalah dengan hapal menghapal. Percaya atau enggak, jaman sekolah itu saya benci sejarah. Karena terlalu banyak tanggal dan nama yang harus diingat. Sumpah, menghafal kata "falafel" aja makan waktu berbulan-bulan dan kadang masih jelimet, apalagi nama orang. Sejarah perjuangan Indonesia aja, saya baru ngeh dan mulai tertarik gara-gara Bumi Manusia-nya Ananta Toer. Gitu juga dengan Bahasa Indonesia. Saya nggak pernah tahu kalau menulis itu menyenangkan waktu saya masih sekolah. Kalau disuruh bikin karangan tentang liburan, pasti bikin "Berlibur ke Rumah Nenek" dengan dimulai "Pada liburan semester lalu" atau "Pada suatu hari". Bahasa Indonesia di sekolah itu buat saya waktunya menghapal majas-majas.
Kalau dulu ketika informasi masih serba terbatas, hafalan memang bisa banyak membantu dan handy. Tapi kalau di zaman sekarang ini, saat akses ke informasi gampang banget apa masih seperlu itu? Bukankah alih-alih membagikan informasi dan menyuruh anak-anak menghapal, sebaiknya justru sekolah mengajarkan cara memilah informasi dan memanfaatkan akses terhadap informasi itu untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari? Bukannya yang penting itu mengerti konsep dari materi yang akan diajarkan daripada rumus atau tanggal atau informasi lainnya yang dapat dengan mudah diakses di kehidupan nyata?
Saya pikir ujian itu sudah nggak perlu tutup buku, tapi ubah soal-soal ujian itu dengan pertanyaan yang bikin murid berpikir dan berpendapat. Buat soal yang jawabannya nggak bisa langsung didapatkan dari halaman di buku. Misalnya, jangan lagi buat pertanyaan tahun berapa perang Diponegoro. Tapi tanya apa dampak perang Diponegoro bagi rakyat pada masanya atau pada saat perang Diponegoro, ada event apa yang terjadi di dunia Internasional. Dengan soal seperti itu juga kalau ada murid yang saling contek jadi mudah ketauan kan? Harga yang harus dibayar ya guru lebih repot saat penilaian karena lembar jawaban isinya lebih beragam. Nggak ada satu-satunya jawaban yang benar. Karena seringkali di kehidupan sehari-hari pun, jawaban benar itu gak cuma satu kan?
Kapan ya sekolah bisa benar-benar jadi tempat belajar mengerti, bukan cuma tempat belajar menghapal.
*racauan pelupa*
(Feb'15)
0 komentar:
Posting Komentar