All That the Nature Shows Me

This is all about what the nature teaches me, through people, nature itself or consciousness.

Matahari Andi


Matahari sudah sejam lalu tenggelam, padahal hari ini Andi pulang cepat. Pikirannya melompat dari satu kenangan ke kenangan lain, mencari kenangan terakhir saat ia bisa melihat matahari dengan mudah. Saat ia bisa merasakan hangatnya matahari memeluk punggungnya. Rupanya sudah sangat lama ia tidak melihat dan merasakan matahari selain dari jendela kantornya. Ketika berangkat kerja, matahari masih belum muncul; ketika pulang, matahari sudah terbenam. Akhir pekanpun lebih banyak dihabiskannya di sofa depan TV dengan supply makanan pesan-antar.

Ia tidak pernah merasa ada yang salah dengan hal tersebut. Lagipula jika sesuatu salah tetapi tidak merugikan siapapun, apakah tetap perlu label salah? Ataukah setiap yang salah pasti merugikan sesuatu atau seseorang? Entahlah. Ia tidak pernah peduli dan tidak mau peduli, kecuali hari ini. Hari ini ia seperti dibangunkan dari tidur panjang tanpa mimpi. Tidak mengecewakan karena bukan mimpi indah yang terakhiri. Tidak pula melegakan karena bukan mimpi buruk yang dialaminya. Ia terbangun dari tidur tanpa mimpi. Tanpa rasa hanya ada asa. Asa untuk berkenalan kembali dengan matahari.

***

Di dalam bus Transjakarta yang padat dan pengap, pikirannya kembali mencari-cari kenangan dengan matahari. Tiba-tiba, ia bisa merasakan hangatnya sinar matahari di punggung, sepoinya angin dan pekatnya wangi air laut. Ia menemukan satu kenangannya bersama matahari. Saat itu hari menjelang sore, matahari sudah tidak menyengat. Cahayanya lebih ramah dan dengan kehangatannya memeluk lembut pantai tempat ia duduk bersama teman-temannya.

Meja dan kursi kayu yang dibalut dengan kain batik tersusun dengan rapi di sepanjang pesisir pantai di bawah pohon-pohon rindang. Sesekali gelak tawa terdengar dari meja sekitarnya. Adapula pasangan yang menikmati sore dengan khidmat. Ia dan teman-temannya memiliki cara sendiri untuk menikmati sore: makan. Makan adalah salah satu dari sedikit kesamaaan yang mereka miliki. Tetapi mungkin itu pula yang membuat pertemanan mereka bertahan selama 10 tahun. Di pesisir pantai di sebuah restoran di Bay Bali, ia merasakan kehangatan matahari dan kehangatan bersama teman-temannya.

Lamunannya buyar. Hangat di punggungnya hilang dan tergantikan gerah yang amat sangat yang selalu ia alami setiap kali menggunakan bus menuju rumahnya. Suara petugas Busway yang mengingatkan halte tempat ia harus turun membuyarkan lamunannya. Sedikit kesal ia bergegas keluar.

Seperti menemukan kembali mainan kesayangan sehingga tak sabar untuk mulai memainkannya. Begitu pula ia mendapati kenangannya mengenai matahari. Ia tak sabar untuk memutar kembali kenangannya. Kenangan yang membuatnya merasa hangat dan merasa hidup. Seketika itu pula, keseharian yang ia lalui bagai seorang zombie menjadi terasa dingin. Ia rindu matahari. Ia rindu teman-temannya

***

Beep...beep...beep
Ponsel pintarnya berdering saat teman-temannya menjawab pesan-pesannya.
Bay Bali lagi yuk. 1-4 Mei, hari kejepit jadi cuma cuti sehari.” ujarnya di messaging group.
sorry ndi, udah kburu janji ama anak gue. next time yee”
Ok Lan. Have fun w/ ur family”

Pengen banget bro, tapi gua gak bisa cuti tanggal 2. Ada event penting di kantor.”
No worries bro.”

Adenya lina tunangan. Gua gak mungkin berangkat kecuali mau bikin perang.”
Gak apa Nang. Say hi buat Lina sama Sinta ya. Semoga lancar”

Ia menunggu respon dari dua orang temannya yang lain. Namun hingga ia beranjak tidur, mereka tidak menjawab pesannya sama sekali.

***
Ia masih ragu, apakah ia akan mengambil cuti atau tidak. Sudah 5 tahun, ia tenggelam dengan kesibukannya dan tidak pernah merasa perlu mengambil cuti. Meskipun sakit, selama masih bisa bangun dari kasur, ia akan tetap berangkat ke kantor. Karena ia tidak tahu apalagi yang dapat ia lakukan selain bekerja.

Namun desakan keinginan untuk menemukan kembali matahari mendorongnya untuk pergi berlibur. Ke pinggir pantai yang sama, saat terakhir kali ia bercengkrama dengan matahari.

Akhirnya kamu ambil cuti juga. Saya tidak tahu kalau kamu punya kehidupan lain.” ujar atasannya.
Saya juga tidak tahu Pak.”

Ia lupa kapan terakhir kalinya mengambil keputusan impulsif seperti itu. Hanya karena kemarin sore, di Busway. Ketika ia terjaga dari auto-pilot badannya dalam menjalani rutinitas. Ia heran melihat 5 tahun berlalu tanpa ia sadari, tanpa memori berkesan yang mewarnai jalan hidupnya, tanpa pengalaman baru yang dapat ia ceritakan ulang di masa depan.

***
Di sebuah restoran di Bay Bali. Ia duduk di kursi kayu berbalut kain batik. Ditemani bir dingin dan calamari and chips di atas meja kayu. Tanpa kelima temannya yang 5 tahun lalu ada di situ. Ia berkenalan kembali dengan matahari. Ia berkenalan kembali dengan dirinya sendiri.

Hanya saja ada sesuatu yang mengganjal. Ia merindukan sesuatu yang selama ini telah setia menemani hidupnya. Ketika teman-temannya sudah berkeluarga dan memiliki kesibukannya sendiri. Ia ingat bahwa pekerjaan adalah temannya. Pekerjaan adalah passionnya. Pekerjaan adalah kebahagiannya. Hanya saja rutinitas menutupinya dengan rasa jenuh.

Ia tersenyum. Seperti halnya cahaya matahari, kebahagiaannya selama ini dekat, hanya saja ia tidak sadar. Dan kini di pinggir pantai itu, ia menyadarinya.


(April'14)
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The BayBali & Get discovered!

About me

Foto Saya
Cie
- writes everything coming to her mind - loves sleeping - wants to own a library - hates routine - loves the pleasure of discovery
Lihat profil lengkapku

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

People Read the Blog

Visitor

hit counter