All That the Nature Shows Me

This is all about what the nature teaches me, through people, nature itself or consciousness.

National M Day

I’m declaring today as National M Day. Why? Because we went to visit National Museum, National Monument and National Masjid. It was a refreshing and entertaining way to spend the weekend before greeting Monday.

National Museum

I've always wanted to visit the museums in Jakarta, and finally today I had the chance. My first stop was National Museum. There are two events being held at the museum: an exhibition of Portuguese culture and a solo exhibition by Cai Zhisong, a Chinese artist. I find the latter more inspiring.

The Portuguese exhibition focuses on influences of Portuguese culture on other countries. The most noticeable perhaps on architecture. Taman Sari in Yogyakarta is a good example.

In overall the Portuguese exhibition really impressed me. It gives the feeling of majesty, power and influence. On the other hand, the other exhibition, Cai Zhisong's, shows humility, humbleness and submission.

Cai Zhisong’s solo exhibition really touched me. At first I was stunned by the facial expressions depicted in his art. They show fright, surrender, humbleness (and arousal?). There was one artwork showing a more cheerful expression, I don't know what it means. But all of them look depressing. And the ambient sounds played in the background even gave me goose bumps.

-- Picture on the right side: This is the artwork that I like the most: A knight titled Ode to Motherland Number 4. It looks so manly and not as depressing compared with the other ode to motherland series. Oh, i didn't really touch it, I'm afraid I might damage it. --

For me, the interesting part of it is when I read the artist’s writings displayed beside his art works. He stated that he once thought that art was the most important thing in life but later as he grew up he did realize that it was life itself that matters and the thought he had before was naïve. I believe that all of us think that way when we were young. Work, family, money, hobbies are the things you probably have in mind as important. To feel alive. Ajahn Brahmn has a good analogy in his book that goes together with the artist’s writing. “We want to have a cup of tea then we have tea ritual. Sometimes we forget to enjoy the tea because we focus on the ritual too much.”

The expression that bothers me in the beginning then becomes clear. He wants to show submission to life. Beautiful! Beautiful sorrow if I might add.


National Monument and Masjid

It was a beautiful sunny afternoon. Nobody wants to miss that, no? I do love park so from the museum we head to National Monument (Monas). My friend wants to take a few good shots using her new camera, so we head to top f the monument. Too bad it is closed when we arrive. So, we just take a walk and some pictures while looking for bicycle for rent. Every time we ask people where the rent booth is, they show different direction. Finally, we cannot find one. So we decide to get bajaj to take us to Istiqlal, the national masjid.

When I am about to start praying I hear the bell ringing from Cathedral, church across to the masjid. Church bell before a pray, what a beautiful but weird mixture!


(Jun’11. We got Tekko for dinner, a nice place for a vegetarian because they have many options for us. Do try Jamur Crispy Penyet, Terong Penyet and Tumis Kucai. Thanks to Adit for editing.)


Langit Vanilla

Wangi vanilla menyeruak

Semerbak

Dari langit di atasku

Saat aku duduk sendiri di depan halte rusak itu


Kulihat langit hitam berubah putih

Ah, waktunya langit vanilla

Pusaran angin membuat warna putih itu berputar-putar di langit

Seperti gambar sebuah galaksi yang pernah kulihat di google

Atau seperti saat mengaduk kopi yang sedang dicampur susu


Hari ini adalah hari panen bunga

Waktunya berterimakasih pada Orchidacustus

Dewi anggrek yang kini menjadi pemimpin dewi bebungaan

Setelah membunuh Shynia, Dewi bunga putri malu


Lihat itu, hamparan langit hampir memutih semua

Wangi vanilla pun semakin kentara

Keajaiban sebentar lagi terjadi


Saat langit putih

Dan angin membeku, hening

Saat itu lah peri-peri berlarian keluar dari persembunyian

Mengambil sesajen untuk Orchidacustus

lalu mencatat nama pemberi sajen

"Panennya akan kami bantu"


Kecut

Takut

Sendiri di antara peri berlalu lalang

Mana bus yang sesore ini kutunggu


Aku berusaha berlindung dari tertabrak peri

Bahkan hanya tersentuh pun, kau akan terbakar

Mereka terbang sangat cepat

Anginnya pun bisa merobek kertas


Aku berdarah-darah

Menunggu bus

Di halte rusak itu

Sendiri

Pada malam ketika langit vanilla


(Jun'11)


Serdadu Kumbang - Film

Film Nia-Ale Sihasale kali ini mengangkat cerita anak di daerah Sumbawa, Amek. Seorang anak introvert yang memiliki mimpi sebagai pembawa berita namun sadar bahwa bibirnya yang sumbing dan kenyataan ia pernah tidak lulus ujian membuatnya menyembunyikan mimpinya. Ia hanya berani menuliskan cita-citanya itu di atas secarik kertas yang dimasukkan kedalam botol lalu digantung di atas pohon cita-cita. Pohon tempat anak-anak desanya menuliskan dan menggantungkan mimpi-mimpi mereka.

Menceritakan bagaimana ketakutan akan kegagalan ujian tahun lalu membuat sekolah di mana Amek belajar menerapkan kedisiplinan yang justru membuat para siswa enggan sekolah.Kisah klasik pendidikan kita, yang terlalu berorientasi pada hasil. Ujian Nasional memang masalah menarik untuk dibahas. Terkesan dilema memang. Jika tidak ada standar nasional, pendidikan kita pun tidak bisa diukur kemajuannya. Namun tolak ukurnya memang sangat mentah. Apakah memang Unjian Nasional ini harus dilalui terlebih dahulu? Kita memang perlu memulai dan setiap permulaan pasti ada korban yang berjatuhan? Semua kembali ke penilaian masing-masing. Keputusan Ujian Nasional tetap dilaksananan atau tidak memang bukan kewenangan kita, apa yang tersisa untuk kita lakukan adalah mengajarkan para siswa untuk menikmati proses pembelajaran sehingga kesiapan adalah buah dari semua kerja keras itu, bukan tujuan utama yang lalu menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Ditambah persoalan keluarga pedalaman yang terbentur masalah kemiskinan serta bumbu lainnya, film ini memberikan cukup banyak detail yang mungkin bertujuan agar Sumbawa-nya terasa. Sebagai film yang hanya membahas pendidikan mungkin itu terlalu memaksa. Namun sebagai film yang juga memperkenalkan kebudayaan Nusantara, bolehlah kita terima.

Salut kepada pasangan Sihasale yang konsisten mengangkat isu pendidikan anak-anak pedalaman serta penyemangat untuk meraih cita-cita.

(Jun'11. Pengen ajak Ilham sama Dinda nonton ini. Si Pia mau ga ya? hmmm..)

Lithuania - Teater

Macet hari Jumat malam kemarin tidak berhasil membuat saya datang terlambat ke Salihara untuk pertunjukan teater Lithuania. Drama kemacetan Jakarta sebenarnya sudah menjadi pembuka pertunjukan yang diadaptasi dari naskah penyair Inggris, Rupert Brooke, ini. Kemiskinan, kemapanan, kerakusan dan perasaan muak ditampilkan sedari saya duduk di Kopaja 20 hingga bangku penonton.

Mungkin tema kemiskinan vs kemapanan sudah bukan hal luar biasa lagi. Bahkan mungkin saja sudah membosankan untuk dibahas karena sudah menjadi kenyataan sehari-hati yang muak dipertanyakan. Itu pula mungkin yang membuat saya sedikit jenuh menikmati suguhan 70 menit tersebut. Bagaimanapun saya tetap angkat topi untuk tragedi yang diangkat.

Pada saat kemiskinan membelenggu dan kelaparan menjadi momok yang begitu menyeramkan, ketiga tokoh (ibu, ayah dan anak perempuan) kita inipun menjadi kehilangan akal. Apalagi saat orang asing yang menjadi tamu mereka malam itu menunjukkan betapa nikmatnya menjadi orang berkecukupan di kota.

Sekitar 80 persen dari pertunjukan saya harus menahan diri menyaksikan alur yang begitu lambat. Tapi di akhir, alur cerita menjadi cepat dan menegangkan hingga berujung tragedi. Laiknya kehidupan kita, semua berjalan lambat namun pada saat keputusan besar harus diambil, semua ketentraman diaduk-aduk dan kita tinggal menyaksikan bagaimana keputusan itu membawa kita ke tahap lain kehidupan. Dan saat keterpaksaan begitu mengikat, keputusan pun diambil dengan tergesa.

Lithuania. Tragedi keterpurukan.

(Jun'11. Mungkin "patience is a virtue" bisa menjadi salah satu pesan. Namun saat terlalu banyak berpikir dan diam bersabar, tak ada satu pun yang dikerjakan. Bukan?)

posted from Bloggeroid

Kereta

Atap kereta lah, tempat aku beralaskan duduk

Tiap pagi, dulu

Karena aku perlu ke kota melanjutkan pekerjaan

Curangkah diriku dengan tidak membayar?

Mungkin iya

Tapi aku lebih sering dicurangi

Upahku hanya seratus lima puluh ribu..padahal mungkin di atas kertas

aku seharusnya dibayar satu juta satu bulan

Aku miskin maka negara lah yang mesti memeliharaku

tapi saat aku sakit, jatah kesehatanku hanyalah isu


Atap kereta lah, tempatku mampu melihat dari tempat tinggi

sebelum seharian kepalaku harus kutundukkan

pada rakusnya dunia


Tapi kini aku tak boleh curang

Harus bayar dua ribu

Berarti empat ribu pp

Berarti uang dapur buat istri hanya seribu


Apa aku berhenti menjadi kuli di kota

Dan maling ATM saja?


(Jun'14)



Selamat Jalan Anak Kufur - Teater

Pementasan teater realis mengenai potret kehidupan pekerja seks yang bertempat di Salihara semalam, membuka akhir pekan saya dengan sebuah renungan berhias tawa satir. Saya tak mengerti realisme itu apa, tidak juga mampu berkomentar mengenai penampilan itu dari sudut pandang seni. Tapi sebagai orang yang selalu tertarik dengan masalah perempuan dan keperempuanan, banyak hal yang cukup menggelitik saya.

Tokoh germo (sebut saja mami, saya lupa apakah namanya pernah disebut) adalah tokoh yang cukup vokal dalam menggugat masyarakat patriarki bertopeng reliji. Setiap perkataannya membuat penonton manggut-manggut sekaligus getir. Mengingatkan saya pada Nyai Ontosoroh: wanita sinis yang kuat karena penderitaan dan sakit memahat hatinya menjadi batu karang. Mami ini berulang kali mengingatkan Titi, anak asuhnya, untuk berperan sebagai Perek, tidak lebih tidak kurang. Sebagai perempuan sewaan, ia tidak boleh mengumbar murah dirinya namun juga harus melayani tamu sebaik-baiknya jika sedang disewa. Bukankah itu profesionalisme? Meskipun dengan bau yang menyengat, bukankah itu adalah kenyataan yang harus diterima. Saat kita bekerja, kita seharusnya mencurahkan seluruh perhatian dan pelayanan kepada apapun pekerjaan kita. Bahkan seringkali kita mesti membunuh ego. Bukan hal gampang, namun jika pekerjaan kita adalah hal yang mulia menurut kita sehingga membunuh ego bukanlah pengorbanan, tidakkah itu patut?

Tokoh mami kita pun menggunakan istilah agama yaitu kufur untuk menggambarkan perek yang tidak bertindak sebagai perek dan melenceng bahkan tidak mengindahkan tuntunannya. Perek yang tidak lebih, tidak kurang. Banyak sekali pesan-pesan berbau feminisme yang saya setuju dan saya tolak, yang tidak akan saya beberkan semua. Sebagai penyeimbang, saya tidak menyukai kesewenangan mami yang menganggap semua pria sewenang-wenang, serta semua agama hanya pepesan kosong berbau moral. Generalisasi justru menyempitkan toleransi, kan?

Selain itu kita memiliki Titi, sang pekerja seks baru. Seorang janda kembang yang sedang gelisah akan hidup dan tujuannya. Ia sedang berada di antara frustasi dan pasrah. Area abu-abu yang selalu membuat tak nyaman.

Dibumbui dengan lakon kehidupan dimulai dari pencopet, tukang becak, makelar perek, pria lugu, preman kampung, gay, dan bahkan anggota dewan yang berasal dari latar belakang suku yang berbeda seolah pengingat bahwa ini adalah masalah seluruh orang di nusantara.

Tanpa jalan keluar dakwah hitam putih, cerita ini diakhiri dengan pilihan untuk Titi sang Perek di dunia patriarki: hidup mandiri dengan terus menjadi pekerja seks atau menjadi budak lelaki dengan menyerahkan diri.

Dan Titipun kufur.

(Jun'11. Bagaimana dengan menjadi mandiri sembari menghormati pasangan hidup sebagai partner? Oya, ketemu Ayu Utami juga! Yuhuuuuu deg-degan sampe ga berani foto bareng)

posted from Bloggeroid

The Price

"Everything in life has its price." - Paulo Coelho (The Alchemist)

Everyone knows there is a price to pay for everything they get in life, but most of the time we decline to pay it. We forget if we don't settle the payment now, we still have to pay it later plus its interest. The longer we hold it, the more we have to pay.

Cheating. Stealing. It leads us nowhere but to more debts. Guts is all we need. Paying the price now is taking the risk, responsibility and our stands. Paying later is about suffering because of denial.

The thing is people may not see the guts, the payment. For instance, a student must attend the class every day otherwise he will be punished. We cannot really tell if the boy has paid the price or not when he decided to skip the class. If he knew the consequence and was ready to be punished then he paid what is needed. But if he left the class but was never ready for the punishment, he would somehow pay it some other ways. And nature knows better to handle that. For us, the fact is he has skipped the class and we don't know (or even don't care) about the payment.

How do we know that we do not overpay? I have no idea. I just believe that there is no such thing as ripoff when dealing with nature.

“Everything you want in life has a price connected to it. There's a price to pay if you want to make things better, a price to pay just for leaving things as they are, a price for everything.” - Harry Browne.


(Jun'11)

About me

Foto Saya
Cie
- writes everything coming to her mind - loves sleeping - wants to own a library - hates routine - loves the pleasure of discovery
Lihat profil lengkapku

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

People Read the Blog

Visitor

hit counter