All That the Nature Shows Me

This is all about what the nature teaches me, through people, nature itself or consciousness.

Selamat Jalan Anak Kufur - Teater

Pementasan teater realis mengenai potret kehidupan pekerja seks yang bertempat di Salihara semalam, membuka akhir pekan saya dengan sebuah renungan berhias tawa satir. Saya tak mengerti realisme itu apa, tidak juga mampu berkomentar mengenai penampilan itu dari sudut pandang seni. Tapi sebagai orang yang selalu tertarik dengan masalah perempuan dan keperempuanan, banyak hal yang cukup menggelitik saya.

Tokoh germo (sebut saja mami, saya lupa apakah namanya pernah disebut) adalah tokoh yang cukup vokal dalam menggugat masyarakat patriarki bertopeng reliji. Setiap perkataannya membuat penonton manggut-manggut sekaligus getir. Mengingatkan saya pada Nyai Ontosoroh: wanita sinis yang kuat karena penderitaan dan sakit memahat hatinya menjadi batu karang. Mami ini berulang kali mengingatkan Titi, anak asuhnya, untuk berperan sebagai Perek, tidak lebih tidak kurang. Sebagai perempuan sewaan, ia tidak boleh mengumbar murah dirinya namun juga harus melayani tamu sebaik-baiknya jika sedang disewa. Bukankah itu profesionalisme? Meskipun dengan bau yang menyengat, bukankah itu adalah kenyataan yang harus diterima. Saat kita bekerja, kita seharusnya mencurahkan seluruh perhatian dan pelayanan kepada apapun pekerjaan kita. Bahkan seringkali kita mesti membunuh ego. Bukan hal gampang, namun jika pekerjaan kita adalah hal yang mulia menurut kita sehingga membunuh ego bukanlah pengorbanan, tidakkah itu patut?

Tokoh mami kita pun menggunakan istilah agama yaitu kufur untuk menggambarkan perek yang tidak bertindak sebagai perek dan melenceng bahkan tidak mengindahkan tuntunannya. Perek yang tidak lebih, tidak kurang. Banyak sekali pesan-pesan berbau feminisme yang saya setuju dan saya tolak, yang tidak akan saya beberkan semua. Sebagai penyeimbang, saya tidak menyukai kesewenangan mami yang menganggap semua pria sewenang-wenang, serta semua agama hanya pepesan kosong berbau moral. Generalisasi justru menyempitkan toleransi, kan?

Selain itu kita memiliki Titi, sang pekerja seks baru. Seorang janda kembang yang sedang gelisah akan hidup dan tujuannya. Ia sedang berada di antara frustasi dan pasrah. Area abu-abu yang selalu membuat tak nyaman.

Dibumbui dengan lakon kehidupan dimulai dari pencopet, tukang becak, makelar perek, pria lugu, preman kampung, gay, dan bahkan anggota dewan yang berasal dari latar belakang suku yang berbeda seolah pengingat bahwa ini adalah masalah seluruh orang di nusantara.

Tanpa jalan keluar dakwah hitam putih, cerita ini diakhiri dengan pilihan untuk Titi sang Perek di dunia patriarki: hidup mandiri dengan terus menjadi pekerja seks atau menjadi budak lelaki dengan menyerahkan diri.

Dan Titipun kufur.

(Jun'11. Bagaimana dengan menjadi mandiri sembari menghormati pasangan hidup sebagai partner? Oya, ketemu Ayu Utami juga! Yuhuuuuu deg-degan sampe ga berani foto bareng)

posted from Bloggeroid

0 komentar:

About me

Foto Saya
Cie
- writes everything coming to her mind - loves sleeping - wants to own a library - hates routine - loves the pleasure of discovery
Lihat profil lengkapku

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

People Read the Blog

Visitor

hit counter