All That the Nature Shows Me

This is all about what the nature teaches me, through people, nature itself or consciousness.

Subuh

pada subuh itu, selepas hujan yang menyisakan wangi tanah
aku bersandar pada dinding yang semalaman tak berhenti menjeritkan kesunyian

mataku menerawang... melewati ventilasi kecil berdebu yang bau asap... terlalu pagi

pada subuh itu, aku bergegas beranjak
sang sipir sudah berteriak-teriak
"Bangun kalian pemalas! Kalian pikir bisa seenaknya makan tidur. Bangun!"

aku menyeret kaki yang bagai terpaku lantai dingin pada subuh itu

aku, seorang narapidana bernomor 9358741563AHJ
di sebuah penjara bernama ibu kota.

(Aug'11)

posted from Bloggeroid

Uncertainty

I've been reading a book, Ini Pun Akan Berlalu (original title: Everything Arises, Everything Falls Away) by Ajahn Chah. It reminds us that nothing lasts forever. Change is a natural process. I took it lightly because I've heard it too often until today when I learned myself that most of the time we expect things to remain the same when we like them. I am too comfortable with the thought that things won't change.


How to deal with uncertainty? When we know things will change why would we make plans?


But those questions are similar to "why would you eat when you know exactly you'd be hungry again". The answer is because that's how we live and survive. We need to eat. We need to plan. So, do not expect that you will not feel hungry by eating a lot. That's not how it works. Too bad.


(Why should I feel sad when things didn't turn out the way I wanted if I knew since the beginning it wouldn't. Oh, is it what those holy people say 'feel attached'? Jul'11)

Jahat

Dasar kau manusia tak punya hati!

. Memang, lalu kenapa? Hatiku dicuri, dirampas, dirusak dan bahkan kubagikan gratis.

Kau memang sakit!

. Aku berbuat baik. Menjadi pendonor hati.

Sudah malas berbicara denganmu!

. Ya, aku pun tak akan mampu berbicara lagi. Karena setelah hati, ginjal dan jantung kini mata, mulut, hidup dan telingan akan kusedekahkan.



(Jul'11)

Ruang - Rumah

Dalam hidup bermasyarakat sering kali kita terpaksa harus membaur dan menjaga keharmonisan, untuk itu kita perlu mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadi. Mengalah bahkan untuk hal remeh-temeh yang dengan ajaibnya membantu mempertahankan kebersamaan dengan orang di sekitar.


Namun ada waktunya kita merasa lelah dan ingin kembali ke 'rumah'. Bukan bangunan yang bisa dibanggakan karena menunjukkan kemewahan namun kenyamaan merasa diterima. Rumah yang bisa berupa orang atau tempat di mana kita bebas menjadi diri sendiri. Saat rumah itu tidak ada, kita pun membuat garis. Ruang yang kita jadikan rumah.


Namun dalam dunia yang semakin tidak jelas ini, sepertinya membuat ruang kita untuk menyendiri, untuk menjadi tuan di ruang sendiri, untuk menjadi diri sendiri semakin susah. Sehingga dengan mudah kita mengumbar privasi, ke jaringan sosial misalnya. Untuk apa? Mengusir sepi? Mencari rumah?


Bisa jadi. Saat memang tak ada tempat untuk bergerak di ruang sendiri, saat tak ada tempat untuk melepas topeng, mungkin itulah saatnya topeng itu semakin melekat di wajah kita dan kita berlari tak karuan ke muka umum mengumbar kelebihan semu karena tersesat dan tak tahu harus berbuat apa. 'Rumah' kita sudah hilang!


(Jul'11)

Hedonis, Ya!

Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. [1] Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia." (Wikipedia)

Terdengar sangat dangkal dan sia-sia jika tujuan hidup itu bersenang-senang untuk mendapat kebahagiaan dan menghindari kesakitan. Tapi jika dipikir ulang, bukankah memang begitu tujuan hidup kita sedalam apa pun makna yang berusaha disampaikan pada berbagai kemasan pandangan moral dan agama. Surga dan neraka, bukankah itu contoh kesenangan dan kesakitan. Mengejar kesenangan (baca:surga) dan menhindari kesakitan (baca:neraka)?

Hanya saja perlu diulas kembali apakah hal-hal yang kita pikir kesenangan memang membawa kebahagiaan atau justru menyengsarakan pada akhirnya? Berpesta, membeli semua benda termewah di dunia, makan makanan terenak, memiliki banyak pasangan, seks, dan sebutkan lainnya mungkin memang terlihat membawa kesenangan. Namun jika diperhatikan lebih dalam, apakah memang itu kebahagiaan?

Kehidupan para buddhis atau sufi yang bebas tanpa kemelekatan mungkin terlihat sebagai kesengsaraan. Kita sering lupa dan menilai kebahagiaan berbanding lurus dengan kepunyaan, kepemilikan. Padahal kepemilikan adalah konsep yang tidak jelas (tidak, saya bukan komunis). Dan konon kemelekatan adalah sumber penderitaan.

Lalu, bagaiman cara kita mendapat kebahagiaan dan menhindari penderitaan?

(Jul'11)

About me

Foto Saya
Cie
- writes everything coming to her mind - loves sleeping - wants to own a library - hates routine - loves the pleasure of discovery
Lihat profil lengkapku

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

People Read the Blog

Visitor

hit counter